PROPOSAL
PENELITIAN
Judul : Pengaruh Pemberian Madu Timor Dalam Mencegah
Bak teri Aeromonas hydrophilla Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Secara in Vivo
Nama : Yunus Sabatudung
NIM : 1 2 0 4 0 5 7 0 4 0
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Dalam
kegiatan budidaya ikan air tawar khususnya ikan Nila, para pembudidaya pasti
selalu diperhadapkan dengan berbagai masalah salah satunya yaitu penyakit.
Penyakit yang sering menyerang ikan air tawar biasanya bersifat patogenik baik
itu dari golongan parasit,bakteri,virus maupun jamur. Pencegahan terhadap
penyakit harus dilakukan mulai dari benih sehingga pada saat mencapai umur
dewasa ikan tersebut tidak membawa penyakit bagi organisme lain.
Penyakit
merupakan salah satu kendala utama untuk keberhasilan produksi. Timbulnya
penyakit dapat terjadi karena kepadatan ikan tinggi saat pemeliharaan,
transportasi benih, penanganan, dan kualitas air yang buruk (Thanikachalam
2010). Ikan Nila mudah terserang penyakit akibat infeksi bakteri Aeromonas
hydrophila. Aeromonas hydrophila menyebabkan penyakit yang dikenal
dengan Motile Aeromonas Septicemia (MAS). Penyakit ini berhubungan dengan
gejala serangan penyakit yang disebabkan bakteri atau racun yang ditimbulkan
bakteri yaitu septicemia pada permukaan tubuh ikan dan organ tubuh ikan
lainnya. Bakteri ini adalah bakteri gram negatif berbentuk batang yang biasanya
diisolasi dari kolam air tawar. Bakteri ini adalah organisme yang biasanya
ditemui pada saluran pencernaan ikan. Penyakit yang diakibatkan bakteri ini
menyerang berbagai jenis spesies ikan air tawar. Untuk mencegah
terjadinya infeksi tersebut maka dilakukan kegiatan pencegahan terhadap
penyakit.
Saat
ini pencegahan penyakit masih
menggunakan obat-obatan berbahan kimia. Penggunaan bahan kimia yang tidak tepat
akan berdampak bagi lingkungan dan bisa juga akan berdampak langsung bagi ikan
yang dibudidayakan. Kendala seperti ini membuat para petani ikan menjadi khawatir
dan takut untuk menggunakkan bahan kimia.
Untuk
mengurangi dampak penggunaan bahan kimia yang berbahaya maka pencegahan
penyakit dialihkan dengan menggunakkan antibakteri alami yang berasal dari
hewan (lebah) yaitu madu. Lebah mengubah sakarida
menjadi madu dengan proses mengunyah berkali-kali sampai setengah tercerna.
Proses ini tidak dilakukan sekaligus. Setelah dikunyah, sakarida
masih dalam bentuk cair dan masih mengandung banyak air, maka proses
selanjutnya adalah penguapan sebanyak mungkin air dan transformasi dengan enzim. Menurut Codex Standard for Honey (1981),
komponen utama dalam madu adalah glukosa dan fruktosa. Selain itu senyawa-senyawa
lain yang terkandung dalam madu antara lain: protein, asam amino, enzim,
asam-asam organik, mineral, tepung sari bunga, sukrosa, maltosa, melezitosa
dan oligosakarida lainnya termasuk dekstrin.
Hasil
uji pendahulu aktivitas madu timur yang dilakukan secara in
vitro menunjukkan bahwa ekstrak madu timor dapat mencegah pertumbuhan
bakteri A. hydrophylla dan V. alginolyticus. Namun, aplikasi
ekstrak madu timor dalam mencegah atau mematikan pertumbuhan bakteri A. hydrophylla pada ikan belum diteliti. Oleh karena itu, maka Peneliti
perlu melakukan penelitian lanjutan dengan judul “Pengaruh Pemberian Madu Timor Dalam Mencegah Bakteri Aeromonas
hydrophila Pada Ikan Nila (Oreochromis
Niloticus) Secara in Vivo”.
1.2.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah
ada pengaruh pemberian madu timor dalam mencegah bakteri Aeromonas hydrophila
pada ikan nila ?
2. Berapakah
konsentrasi madu
timor yang tepat dalam mencegah bakteri Aeromonas
hydrophila pada ikan nila ?
1.3.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari
penelitian ini, yaitu :
1. Untuk
mengetahui apakah ada pengaruh pemberian madu timor dalam mencegah bakteri Aeromonas hydrophila
pada ikan Nila
(Oreochromis niloticus).
2. Untuk
mengetahui berapa konsentrasi madu
timor yang tepat dalam mencegah bakteri Aeromonas
hydrophila pada ikan Nila (Oreochromis
niloticus).
Manfaat
dari penelitian ini :
1. Bagi Mahasiswa : sebagai bahan referensi untuk menambah
wawasan tentang pentingnya madu timor dalam mencegah penyakit yang disebabkan
oleh bakteri Aeromonas hydrophilla
dalam budidaya ikan air tawar.
2. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat khususnya petani
ikan yang akan membuka usaha budidaya maupun yang sudah menjalankannya bahwa
madu timor selain digunakan dalam bahan pangan, madu juga dapat digunakan
sebagai obat atau antibakteri dalam mencegah penyakit yang disebabkan oleh
bakteri.
1.4.
Hipotesis Penelitian
Pemberian ekstrak madu timor sebagai antibakteri diduga dapat
mencegah pertumbuhan bakteri Aeromonas
hydrophilla pada ikan Nila (Oreochromis
niloticus).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ikan Nila
2.1.1 Klasifikasi
dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis
Niloticus)
Ikan nila
merupakan spesies yang berasal dari kawasan Sungai Nil dan danau-danau
sekitarnya di Afrika. Bibit ikan nila didatangkan ke Indonesia secara resmi
oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969 dari Taiwan ke Bogor.
Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, ikan nila disebarluaskan kepada
petani di seluruh Indonesia (Wiryanta dkk. 2010). Klasifikasi ikan nila
menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Sub
Phylum : Vertebrata
Class
: Ostheichthyes
Sub
Class : Acanthoptherigii
Ordo
: Percomorphii
Sub
Ordo : Percoidea
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus

Gambar 1. Ikan Nila (Oreochromis
Niloticus)
Sumber : (Saanin, 1984)
Berdasarkan
morfologinya, kelompok ikan Oreochromis memang berbeda dengan kelompok tilapia.
Secara umum, bentuk tubuh ikan nila memanjang dan ramping, dengan sisik
berukuran besar. Bentuk matanya besar dan menonjol dengan tepi berwarna putih.
Gurat sisi (linea literalis) terputus
di bagian tengah tubuh kemudian berlanjut lagi, tetapi letaknya lebih ke bawah
dibandingkan dengan letak garis yang memanjang di atas sirip dada.
Nila
memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada (pectoral
fin), sirip perut (venteral fin), sirip anal (anal fin), dan sirip ekor (caudal
fin). Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup insang sampai ke
bagian atas sirip ekor. Sepasang sirip dada dan sirip perut ikan nila berukuran
kecil, sedangkan sirip anusnya yang hanya satu buah berbentuk agak panjang.
Sementara itu, jumlah sirip ekornya yang juga satu buah berbentuk bulat.
Jika
dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya, ikan nila jantan memiliki ukuran sisik
yang lebih besar dibandingkan dengan ikan nila betina. Alat kelamin ikan nila
jantan terletak di depan anus. Bentuknya berupa tonjolan agak runcing,
berfungsi sebagai saluran urine dan saluran sperma. Jika perut ikan nila jantan
diurut, akan mengeluarkan cairan bening. Sementara itu, alat kelamin ikan nila
betina juga terletak di depan anus, tetapi memiliki lubang genital yang
terpisah dengan lubang saluran urine.
2.1.2 Habitat Dan Kebiasaan
Hidup
Habitat
ikan nila adalah perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk dan rawa-rawa,
tetapi karena toleransinya yang luas terhadap salinitas (euryhaline), sehingga
dapat pula hidup dengan baik di air payau dan laut. Salinitas yang cocok untuk
nila adalah 0-35 ppt (part per thousand). Namun, salinitas yang memungkinkan
nila tumbuh optimal adalah 0-30 ppt. pada salinitas 31-35 ppt nila masih hidup,
tetapi pertumbuhannya lambat.
Sedangkan
pH air yang cocok adalah 6 – 8,5, namun pertumbuhan optimalnya terjadi pada pH
7 – 8. Nilai pH yang masih ditolerir ikan nila adalah 5 – 11. Suhu optimal
untuk pertumbuhan ikan nila antara 25 – 300C. Pada suhu sampai
sampai 220C nila masih dapat memijah, begitu pula pada suhu 370C.
Pada suhu di bawah 140C atau lebih 380C nila mulai
terganggu. Sedangkan suhu mematikan berada pada suhu 60C dan 420C.
Karena
itu, nila dapat dibudidayakan di dataran rendah sampai pada ketinggian 1.000 m
dpl (di atas permukaan laut). Di Afrika, nila masih dapat dibudidayakan pada
ketinggian di atas 1.000 m dpl. Namun, produksi optimal (5 ton/ha/tahun)
dicapai pada ketinggian hanya beberapa meter dpl. Produksi nila menurun antara
200 – 300 kg/ha/tahun untuk setiap kenaikan 100 m. Di daerah tropis seperti
Indonesia, pertumbuhan optimal ikan nila antara 0 – 500 m dpl.
Ikan
nila juga dapat hidup pada perairan dengan kandungan oksigen minim, kurang dari
3 ppm (part per million). Karena itu, ikan nila dapat dipelihara di kolam tadah
hujan dan air tergenanglain yang minim oksigen, termasuk di kolam terpal. Namun
demikian, untuk pertumbuhan optimalnya, nila membutuhkan perairan dengan
kandungan oksigen minimal 3 ppm.
Nila
dapat hidup di perairan yang dalam dan luas seperti danau dan waduk, maupun di
kolam yang sempit dan dangkal. Nila juga dapat hidup di sungai yang tidak
terlalu deras alirannya, di waduk, danau, rawa-rawa, sawah, tambak air payau hingga
pada KJA (keramba jaring apung) di laut.
2.1.3 Kebiasaan Makan dan Laju Pertumbuhan Ikan Nila
Ikan
nila memiliki respon yang luas terhadap pakan dan memiliki sifat omnivora
sehingga bisa mengkonsumsi makanan berupa hewan dan tumbuhan (Huet 1971 dalam
Haryono dkk. 2001). Di perairan alam ikan nila memakan plankton, perifiton,
benthos maupun tumbuhan air atau gulma air yang lunak, bahkan cacing pun
dimakan (Susanto 1987). Menurut Soenanto (2004) ikan nila dapat diberi dedak
halus, bekatul, ampas kelapa, bungkil kacang dan sisa makanan.
Haryono
(2001) menyatakan bahwa produksi ikan nila yang maksimal memerlukan
pemeliharaan yang intensif, yang mana dalam pemeliharaannya
memerlukan pemberian pakan tambahan berupa pellet. Pellet yang diberikan untuk
ikan nila harus diimbangi dengan kenaikan berat ikan secara ekonomis, sehingga
akan lebih baik apabila bahan pakan yang diberikan berstatus limbah namun masih
memenuhi kebutuhan gizi ikan nila.
Benih
ikan nila dapat dibedakan menjadi beberapa kelas atau fase, yaitu fase larva
(ukuran 0,6-0,7 cm), fase kebul (ukuran 1-3 cm), gabar (ukuran 3-5 cm), belo
(ukuran 5-8 cm) dan sangkal (ukuran 8-12 cm). Pada kegiatan budidaya fase larva
dan kebul disebut dengan pendederan I, fase gabar disebut pendederan II, fase
belo disebut pendederan III dan fase sangkal disebut pendederan IV. Adapun
dosis pellet yang diberikan untuk benih ikan nila yaitu sebanyak 3%-5% dari
total biomassa ikan dengan kandungan protein antara 20%-25%, lemak 6%-8% (SNI
1999), pellet yang diberikan bisa berupa pellet crumble ataupun pellet
utuh disesuaikan dengan bukaan mulut ikan.
Kebiasaan
memakan makanan hewani dan nabati tergantung umur ikan nila. Pada saat larva,
setelah habis kuning telur, ikan nila suka dengan phytoplankton. Setelah ukuran
badannya menjadi sedikit lebih besar, benih ikan nila sangat suka dengan
zooplankton, seperti Rotifera sp, Impusoria sp, Daphnia sp, Moina sp dan
Cladocera sp. Setelah dewasa, ikan nila sangat suka dengan cacing, seperti
cacing tanah, cacing darah dan tubifex. Selain itu, bahan makanan nabati berupa
daun talas adalah makanan
kesukaan ikan nila.
Laju
pertumbuhan tubuh ikan nila yang dibudidayakan tergantung pada pengaruh fisika
dan kimia perairan serta interaksinya. Sebagai contoh, curah hujan yang tinggi
akan mengganggu pertumbuhan tanaman air dan secara tidak langsung akan
mepengaruhi pertumbuhan ikan nila yang dipelihara. Berdasarkan hasil
penelitian, diketahui bahwa laju pertumbuhan ikan nila lebih cepat jika
dipelihara di kolam yang airnya dangkal dibandingkan dengan di kolam yang
airnya dalam.
Perlu
diketahui juga, laju pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat 40% dibandingkan
dengan laju pertumbuhan ikan nila betina. Terlebih lagi jika ikan ini
dipelihara secara terpisah berdasarkan jenis kelaminnya (monosex). Jika sudah
mencapai ukuran 200 gram, pertumbuhan ikan nila menjadi semakin lambat. Namun,
hal ini hanya terjadi pada nila betina, sedangkan nila jantan akan tetap tumbuh
pesat.
2.1.4 Perkembangbiakan Ikan
Nila
Secara
alami, ikan nila memijah sepanjang tahun di perairan di daerah tropis.
Frekuensi pemijahan yang terbanyak terjadi pada musim hujan. Di alam, ikan nila
dapat memijah 6-7 kali dalam setahun. Ikan ini mencapai stadium dewasa pada
umur 4-5 bulan, dengan bobot sekitar 250 gram. Masa pemijahan produktif
berlangsung ketika induk berumur 1,5-2 tahun dengan bobot di atas 500 gram per
ekor. Seekor ikan nila betina dengan bobot sekitar 800 gram menghasilkan
larva sebanyak 1.200-1.500 ekor setiap kali memijah.
Sebelum
memijah, ikan nila jantan selalu membuat sarang berupa lekukan berbentuk bulat
di dasar perairan dengan diameter sama dengan ukurannya. Sarang ini merupakan
daerah teritorial ikan nila jantan yang nantinya juga digunakan sebagai lokasi
pemijahan dan pembuahan telur.
Saat
masa berahi, warna ikan nila jantan akan berubah menjadi cerah. Sifatnya
menjadi sangat agresif dalam menjaga daerah teritorialnya. Proses pemijahan ikan
nila berlangsung sangat cepat. Dalam waktu 50-60 detik sepasang ikan nila yang
memijah mampu menghasilkan 20-40 butir telur yang telah dibuahi. Pemijahan akan
terjadi beberapa kali dengan pasangan yang sama atau berbeda selama 20-60
menit. Telur ikan nila berdiameter 2,8 mm, berwarna abu-abu atau kadang-kadang
kuning, tidak lengket, dan tenggelam di dasar perairan.
Telur-telur
yang telah dibuahi akan dierami di dalam mulut induk betina dan akan menetas
dalam waktu 4-5 hari. Telur yang sudah menetas disebut larva, panjangnya 4-5
mm. Larva yang baru menetas diasuh oleh induk betina hingga mencapai umur 11
hari (ukuran 8 mm). Benih-benih yang sudah tidak diasuh oleh induknya akan
berenang secara bergerombol di peraiaran yang dangkal atau di pinggir
kolam.
2.1.5
Penyakit yang Menyerang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Penyakit dapat didefenisikan sebagai salah satu yang dapat
menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur alat tubuh, baik secara
langsung maupun tidak langsung (Kordi, 2004). Ditinjau dari penyebab
penyakit pada organisme budidaya dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu
penyakit infeksi dan non-infeksi.
Penyakit infeksi (menular) yang biasa
menyerang ikan nila yaitu; Trichodina sp,
biasanya menyerang bagian luar seperti kulit, sirip dan insang. Saprolegniasis adalah penyakit yang
disebabkan oleh sejenis jamur dan biasanya menyerang telur, larva dan benih ikan.
Epistylis spp, ciri-ciri ikan yang
terserang Epistylis spp bagian insang
berwarna merah kecoklatan, ikan sukar bernapas, gerakan lambat dan
pertumbuhannya lambat serta penyakit
bercak merah. Sedangkan penyakit
non-infeksi disebabkan karena menurunnya kualitas air, pemberian pakan yang
kurang tepat sehingga bisa menimbulkan keracunan pada ikan, penanganan ikan
yang tidak benar serta genetis.
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri yang penyebarannya
luas. Bakteri ini dapat ditemukan pada air tawar terpolusi maupun pada air
laut yang kadar garamnya tinggi. Selain itu bakteri ini juga ditemukan pada intestinum ikan yang
sehat. Bakteri ini termasuk bakteri gram negatif,
motil dan berbentuk batang (0,3-1,0 x 1,0 3,5mm).
A. hydrophilla
mungkin paling sering menyebabkan wabah pada ikan yang dibudidayakan maupun ikan yang
hidup bebas pada air tawar. Penyakit akibat bakteri ini biasanya diasosiasikan
dengan penyakit bakterial hemoragik septikemia pada ikan (dikenal sebagai
aeromonad septicemia atau red pest ) yang mengalami stress karena berbagai penyebab. Penyakit ini dapat tertular setiap
saat, walaupun biasanya sering terjadi pada saat musim panas dimana temperatur
air meningkat dan ikan mengalami stress karena pergantian musim dari musim
panas ke musim dingin. Selain itu hal ini juga dapat terjadi akibat lingkungan
yang kurang bagus.
2.2.1 Klasifikasi Aeromonas
hydrophila
Pada mulanya Aeromonas hydrophila dikenal dengan nama
Bacilus hydrophilus fuscus. Bakteri ini pertama kali diisolasi dari kelenjar
pertahanan katak yang mengalami perdarahan septisemia. Pada tahun 1936, Kluiver
dan Van Niel telah mengelompokkan genus Aeromonas. Selanjutnya pada tahun 1984,
Popoff telah memasukan genus Aeromonas ke dalam famili Vibrionaceae (Anonimous
2004 diacu dalam Yudha 2005).
Mikroorganisme ini secara normal dapat ditemukan dalam
lingkungan perairan (Blair et al. 1999 diacu dalam Robinson et al. 2000).
Aeromonas hydrophila diisolasi dari manusia dan binatang sampai dengan tahun
1950. Bakteri ini memiliki nama sinonim A. formicans dan A. liquefaciens
(Sismeiro et al. 1998).
Berikut adalah klasifikasi Aeromonas hydrophila (Holt et. al. 1998):
Filum : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Pseudanonadeles
Family : Vibrionaceae
Genus : Aeromonas
Spesies: Aeromonas hydrophila
Filum : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Pseudanonadeles
Family : Vibrionaceae
Genus : Aeromonas
Spesies: Aeromonas hydrophila
Gambar 2.
Bakteri A. hydrophilla
Sumber : (Holt
et. al. 1998)
2.2.2 Karakteristik Aeromonas hydrophila
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri heterotrophic unicellular,
tergolong protista prokariot yang dicirikan dengan adanya membran yang
memisahkan inti dengan sitoplasma. Bakteri ini biasanya berukuran 0,7-1,8 x
1,0-1,5 µm dan bergerak menggunakan sebuah polar flagel (Kabata 1985). Hal ini
diperkuat oleh Krieg dan Holt (1984) yang menyatakan bahwa Aeromonas hydrophila
bersifat motil dengan flagela tunggal di salah satu ujungnya. Bakteri ini
berbentuk batang sampai dengan kokus dengan ujung membulat, fakultatif anaerob,
dan bersifat mesofilik dengan suhu optimum 20 - 30 ºC (Kabata 1985).
Aeromonas hydrophila bersifat gram negatif, oksidasi
positif dan katalase positif (Krieg dan Holt 1984). Bakteri ini juga mampu
memfermentasikan beberapa gula seperti glukosa, fruktosa, maltosa, dan
trehalosa. Hasil fermentasi dapat berupa senyawa asam atau senyawa asam dengan
gas. Pada nutrient agar, setelah 24 jam dapat diamati koloni bakteri dengan
diameter 1-3 mm yang berbentuk cembung, halus dan terang (Isohood dan Drake
2002).
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri yang secara
normal ditemukan dalam air tawar. Infeksi Aeromonas hydrophila dapat terjadi
akibat perubahan kondisi lingkungan, stress, perubahan temperatur, air yang
terkontaminasi dan ketika panas
telah terinfeksi oleh virus, bakteri atau parasit lainnya (infeksi sekunder). Oleh kerena itu bakteri
ini disebut dengan bakteri yang bersifat patogen oportunistik (Dooley et al.
1985).
Bakteri ini dapat bertahan dalam lingkungan aerob
maupun anaerob dan dapat mencerna material-material seperti gelatin dan
hemoglobin. Aeromonas hydrophila resisten terhadap chlorine serta suhu yang
dingin (faktanya Aeromonas hydrophila dapat bertahan dalam temperatur rendah ±
4 ºC), tetapi setidaknya hanya dalam waktu 1 bulan (Krieg dan Holt 1984).
Austin (1993) menambahkan bahwa sebagian besar isolat Aeromonas hydrophila
mampu tumbuh dan berkembangbiak pada suhu 37oC dan tetap motil pada
suhu tersebut. Disamping itu, bakteri Aeromanas hydrophila mampu tumbuh pada
kisaran pH 4,7-11,0 (Cipriano et al. 1984 diacu dalam Fauci 2001).
Aeromonas
hydrophila menyebabkan penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) atau penyakit
bercak merah. Bakteri ini menyerang berbagai jenis ikan air tawar seperti lele
dumbo, (Clarius glariepinus), ikan mas (Cyprinus carpio), gurami (Osphronemus
gouramy), ikan nila (Oreochromis niloticus),
dan udang galah (Macrobracium rusenbergil) dan dapat menimbulkan wabah penyakit
dengan tingkat tinggi (80-100dalam waktu 1-2 minggu. Pengendalian bakteri ini
sulit karena memiliki banyak strain dan selalu ada di air serta dapat menjadi
resisten terhadap obat-obatan (Kamiso dan Triyanto 1993)
Patogenesa Penyakit
Menurut
Botterelli dan Ossiprandi 1999 yang diacu dalam Hidayat 2006, sebagaimana
halnya bakteri enteropatogenik, terdapat dua mekanisme patogenesa infeksi
bakteri Aeromonas hydrophila, yaitu:
1. Tissue adherence. Mekanisme ini
diperantarai oleh S-Layer. S-Layer membantu penempelan dan kolonisasi bakteri
pada mukosa usus. Proses ini juga dibantu oleh struktur filamentous (fimbriae)
atau membranous (adhesins) yang memiliki aktivitas hemagglutinasi, terutama ditemukan
pada strain mesofilik.
2. Toxin production. Toksin Aeromonas
dapat diklasifikasikan menjadi endotoksin dan eksotoksin. Cytotoxins dan
enterotoxins (termasuk aktivitas haemolytic) merupakan yang paling penting
dalam patogenitas.
Patogenitas Aeromonas hydrophila
Aeromonas
hydrophila yang patogen, diduga memproduksi faktor-faktor eksotoksin dan
endotoksin, yang sangat berpengaruh pada patogenitas bakteri ini. Eksotoksin
merupakan komponen protein terlarut, yang disekresikan oleh bakteri hidup pada
fase pertumbuhan eksponensial. Produksi toksin ini biasanya spesifik pada
beberapa spesies bakteri tertentu baik Gram positif maupun Gram negatif, yang
menyebabkan terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut. Endotoksin
adalah toksin yang merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri Gram
negatif. Aktivitas biologis dari endotoksin dihubungkan dengan keberadaan
lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen penyusun permukaan dari membran
terluar (outer membrane) bakteri Gram negatif (Syamsir 2008).
Eksotoksin
yang diproduksi oleh A. hydrophyla meliputi hemolisin, protease, elastase,
lipase, sitotoksin, enterotoksin, gelatinase, kaseinase, lecithinase dan
leucocidin. Hemolisin merupakan enzim yang mampu melisiskan sel-sel darah merah
dan membebaskan hemoglobinnya. Protease adalah enzim proteolitik yang berfungsi
untuk melawan pertahanan tubuh inang untuk berkembangnya penyakit dan mengambil
persediaan nutrient inang untuk berkembangbiak (Angka 2001). A. hydrophila
dapat memanfaatkan albumin, kasein, fibrinogen, dan gelatin sebagai substrat
protein. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bakteri ini bersifat
proteolotik (Shotts et al. 1985), sehingga berpotensi besar sebagai patogen
ikan. Adanya enzim proteolitik akan merusak dinding intenstin, sehingga terjadi
penebalan dinding, udem dan semi transparan (Munro 1982). Ketika Aeromonas
hydrophila masuk ke dalam tubuh inang, maka toksin yang dihasilkan akan
menyebar melalui aliran darah menuju organ. Enterotoksin merupakan suatu toksin
ekstraseluler bakteri yang khususnya menyerang saluran gastrointestinal.
Lechitinase adalah enzim yang menghancurkan berbagai sel jaringan dan terutama
aktif melisiskan sel-sel darah merah, sedangkan leucocidin adalah enzim yang dapat
membunuh sel-sel darah putih (Pleczar & Chan 1988). Hirono dan Aoki (1991)
menambahkan bahwa Aeromonas hydrophila dapat memproduksi toksin ekstrasellular acetylcholinesterase, phospholipids,
acyltransferase dan protease.
Aeromonas
hydrophila juga memiliki kemampuan untuk menempel pada sel tubuh ikan melalui
aktifitas adhesins (Trust et al. diacu dalam Austin & Austin 1993).
Adhesins ini bersifat sangat selektif, hanya mampu mengenali rantai polimer
D-mannosa dan L-sucosa yang terletak pada permukaan sel eukariot. Dengan
menempelnya Aeromonas hydrophila pada permukaan sel inang, kemungkinan besar
sel inang tersebut akan terinfeksi (Austin & Austin 1993).
2.2.3 Habitat
Bakteri Aeromonas hydrophila memiliki kemampuan osmoregulasi yang
tinggi dimana mampu bertahan hidup pada perairan tawar, perairan payau dan laut
yang memiliki kadar garam tinggi dengan penyebaran melalui air, kotoran burung, saluran
pencernaan hewan darat dan hewan amfibi serta reptil (Mangunwardoyo et al., 2010).
Lingkungan
yang mempunyai konsentrasi kadar garam tertentu memiliki kerapatan A.
hydrophilla yang jauh lebih tinggi dibandingkan lingkungan air tawar,
meskipun variasi dalam kepadatan antara habitat dengan kadar garam tertentu
jauh lebih besar daripada habitat air tawar umumnya.
A.
hydrophilla
tidak dianggap sebagai bakteri laut, namun studi ini menunjukkan bahwa itu
ditemukan secara alami bakteri A. hydrophilla hidup dilingkungan yang
mempunyai kadar garam air laut, air payau sampai dengan air tawar dan dapat
ditemukan di semua salinitas, kecuali (paling ekstrim> 100%o).
Baru-baru ini, bakteri A. hydrophilla menyebabkan penyakit borok pada
ikan cod (Gadus morhua), dan ikan laut lainnya. A. hydrophilla
dapat diisolasi dari perairan yang memiliki kekeruhan 0-395 unit turbidity
Jackson. Suhu yang optimum untuk pertumbuhan bakteri A. hydrophilla
adalah 35°C, dan suhu maksimum yaitu mendekati suhu 450C. Dalam
studi ini, A. hydrophilla diisolasi dari air yang memiliki suhu antara 40
dan 450 C. A. hydrophilla tidak
dapat diisolasi pada suhu lebih besar dari 450C, kepadatan tertinggi
terjadi pada 350C, sepanjang gradient termal mulai dari 200 sampai 720C. pH air
tampaknya tidak memainkan peran penting dalam distribusi A. hydrophilla,
karena bakteri dapat diisolasi selama rentang pH seluruh sampel (5,2-9,8).
Bakteri A. hydrophila tidak mampu tumbuh pada pH lebih rendah dari 4 atau lebih
tinggi dari 10 (Hazen et al., 2011).
Bakteri A. hydrophila, merupakan bakteri negatif,
dianggap sebagai salah satu bakteri patogen yang paling penting pada hewan air
di daerah beriklim sedang, seperti ikan yang sakit, belut, katak, dan
kura-kura. Selain itu bakteri A.hydrophila dilaporkan sebagai salah satu
spesies Aeromonas paling umum yang terkait dengan penyakit usus pada
manusia (Esteve et al., 2004).
2.3
Madu
Madu
adalah cairan kental yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai sumber
nektar. Senyawa – senyawa yang terkandung dalam madu bunga berasal dari nektar
berbagai jenis bunga. Nektar adalah suatu senyawa kompleks yang dihasilkan oleh
kelenjar “necterifier”
tanaman dalam bentuk larutan gula yang bervariasi. Komponen utama dari nektar
adalah sukrosa, fruktosa, dan glukosa serta terdapat juga dalam jumlah kecil
sedikit zat – zat gula lainnya seperti maltosa, melibiosa, rafinosa serta
turunan karbohidrat lainnya. (Adji, S, 2004).

Gambar 3. Madu
Sumber: (Adji, S. 2004)
Madu
mengandung banyak mineral seperti natrium, kalsium, magnesium, alumunium, besi,
fosfor, dan kalium. Vitamin–vitamin yang terdapat dalam madu adalah thiamin
(B1), riboflavin (B2), asam askorbat (C), piridoksin (B6), niasin, asam
pantotenat, biotin, asam folat, dan vitamin K. Sedangkan enzim yang penting
dalam madu adalah enzim diastase, invertase, glukosa oksidase, peroksidase, dan
lipase. Selain itu unsur kandungan lain madu adalah memiliki zat antibiotik
atau antibakteri (Adji, S, 2004).
Menurut
hasil pengkajian dari para ahli, lebih dari 180 macam senyawa atau unsur dan
zat nutrisi yang ada, terkandung di dalam madu alami. Dan jenis gula atau
karbohidrat yang terdapat di dalam madu alami yakni fruktosa, yang memiliki
kadar yang tertinggi, yaitu sedikitnya bias mencapai 38,5 gram per 100 gram
madu alami. Sementara untuk kadar glukosa, maltosa, dan sukrosanya rendah.
Fruktosa atau yang sering disebut Levulosa merupakan gula murni atau alami yang
berasal dari saripati buah-buahan. Sedangkan sukrosa merupakan gula hasil
olahan manusia yang bahan bakunya berasal dari batang pohon tebu. Oleh karena
itu, sehingga dikenal sebagai sumber energi yang akan cepat pula tercena dan
diserap serta bermanfaat sekali untuk memulihkan kelelahan setelah melakukan
berbagai aktivitas berat lainnya.
Madu
tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah
mineral seperti Magnesium, Kalium, Potasium, Sodium, Klorin, Sulfur, Besi, dan
Fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B6 dan B3 yang komposisinya
berubah-ubah sesuai dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi
lebah. Disamping itu, didalam madu terdapat pula tembaga, yodium dan seng dalam
jumlah yang kecil, juga beberapa jenis hormon. (Sarwono, 2001).
2.3.1 Jenis dan Kualitas Madu
Jenis
madu ditentukan oleh jenis bunga yang menjadi sumber nektar, karena setiap
bunga dapat menghasilkan warna, rasa, dan aroma madu yang berbeda. Sampai saat
ini, terdapat lebih dari 300 varietas madu (Caron, 2004).
Madu
umumnya diberi nama sesuai dengan sumber nektarnya, sehingga terdapat berbagai
nama madu di pasaran seperti madu apel, madu kapuk, madu lengkeng, madu
beringin, dan sebagainya (A. Suranto, 2004).
Berdasarkan
asal cairan yang diambil oleh lebah, madu dibedakan atas tiga jenis yaitu madu nektar,
honey dew dan madu buatan. Madu nektar berasal dari cairan nektar baik dari
satu macam bunga (monoflora), beberapa macam bunga (polyflora) ataupun dari
lain-lain bagian tanaman selain bunga (extraflora). Honey dew berasal dari
cairan manis yang dikeluarkan oleh insekta pengisap tanaman yang dikumpulkan
dan disimpan oleh lebah di dalam sarangnya. Sedangkan madu buatan adalah madu yang berasal dari
cairan gula yang dikumpulkan dan disimpan (A. Suranto, 2004).
Berdasarkan
warnanya, madu dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu jernih (water white), amber, hitam (dark amber), putih (white) (National Honey Board,
2001). Madu amber telah diketahui mempunyai
aktivitas bakteriostatik dan bakterisida,
baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif (Mulu, et al., 2004). Madu hitam
mempunyai rasa pahit dan
memiliki kandungan zat antioksidan yang lebih banyak dibandingkan kedua madu
lainnya (Ismail, 2007) dan madu putih mempunyai rasa yang sangat manis, aroma
yang khas, dan after taste
yang kuat (Sukartiko, 1986).
2.3.2 Komposisi
Komposisi
kimia dari madu bervariasi tergantung dari sumber tanaman, musim dan metode
produksi. Kondisi penyimpanan juga bisa mempengaruhi komposisi akhirnya dengan
proporsi disakarida yang meningkat setiap waktu. Dua kandungan gula yang utama
pada madu yaitu fruktosa (sekitar 38%) dan glukosa (sekitar 31%) sisanya berupa
sukrosa (sekitar1%), disakarida, oligosakarida, asam glukonat serta asam-asam
lain dengan sedikit protein, enzim (termasuk glukosa oksidase), asam-asam amino
dan mineral (White, et al.,
1960;White,1975).
Madu
juga tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah
mineral seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi dan
fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B6 dan B3 yang komposisinya
berubah-ubah sesuai dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi
lebah.
2.3.3 Pemanfaatan Madu
Madu
mempunyai berbagai manfaat, diantaranya dapat digunakan dalam pengobatan
penyakit infeksi, karena mempunyai aktivitas antibakteri. Madu diketahui
mempunyai aktivitas bakterisida dan bakteriostatik terhadap bakteri, baik
terhadap Gram positif ataupun Gram negatif (Mulu, et al.,
2004). Madu juga terbukti mempunyai aktivitas terhadap beberapa bakteri,
diantaranya Staphylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Streptococcus pyogenus,
dan Salmonella typhimurium (Wilix
et al., 1992).
Aktivitas
antibakteri tersebut berhubungan dengan karakteristik dan kandungan kimia madu.
Reaksi yang dikatalis enzim glukosa oksidase merupakan faktor utama yang
menentukan aktivitas antibakteri pada madu (Mulu, et
al., 2004).
Faktor-faktor
lain yang berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri madu diantaranya (Molan,
1992):
1. Tekanan
osmotik /aktivitas air (Aw)
Madu merupakan larutan gula sangat jenuh (supersaturated), dengan
aktivitas air (Aw) yang rendah. Hal itu berarti madu mengandung sedikit air dan
kurang mendukung pertumbuhan bakteri dan jamur. Beberapa spesies bakteri dapat
tumbuh pada medium dengan Aw antara 0,94-0,99, sedangkan nilai Aw madu sekitar
0,56-0,62.
2. pH
madu
Nilai pH madu rata-rata sekitar 3,2 -
4,5, sehingga dapat menghambat pertumbuhan beberapa patogen yang mempunyai pH
minimum pertumbuhan sekitar 7,2 - 7,4, seperti Escherichia
coli, Salmonella, Pseudomonas aeruginosa, dan
Streptococcus pyogenes.
3. Enzim
glukosa oksidase
Glukosa oksidase merupakan enzim yang
diekskresikan oleh lebah madu untuk menghasilkan madu dari nektar. Enzim ini
merubah glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida. Oleh karena itu,
aktivitas antibakteri madu sangat berhubungan dengan jumlah hidrogen
peroksidase dan glukosa oksidase. Pada madu yang dilarutkan dalam air akan
menyebabkan kenaikan aktivitas enzim 2,5-50 kali lipat, bersifat antiseptik,
dan tidak membahayakan jaringan.
4. Komponen
antibakteri pada madu
Madu mengandung beberapa senyawa
antibakteri dalam jumlah yang kecil, yaitu pinosembrin, terpen, benzil alkohol,
3,5-dimetoksi-4-asam hidroksi benzoat (asam siringat),
metil-3,5-dimetoksi-4-hidroksibenzoat (metil siringat), 3,4,5 asam trimetoksi
benzoat, 2-hidroksi-3-asam fenil propionat, 2-asam hidroksi benzoat, dan
1,4-dihiroksibenzen. Senyawa-senyawa tersebut adalah faktor pendukung aktivitas
antibakteri non-peroksida.
Aktivitas antibakteri madu dapat
berkurang karena beberapa faktor, diantaranya adanya ion logam, asam askorbat,
dan katalase dari nektar yang dapat merusak hidrogen peroksida, serta adanya
cahaya dan pemanasan yang dapat merusak enzim glukosa oksidase.
2.3.4 Zat Antibakteri
Antibakteri merupakan zat yang digunakan untuk
mengatasi infeksi bakteri. Zat-zat ini dapat diperoleh secara alami, melalui
semisintesis, dan melalui modifikasi molekul biosintetik, yang bekerja membunuh
atau menghambat pertumbuhan bakteri (G.F. Brooks,et al., 2001;Madigan, et al., 2003). Aktivitas
antibakteri ditentukan oleh interaksi zat tersebut dengan bakteri. Oleh karena
itu, kualitas zat antibakteri dapat ditentukan berdasarkan afinitas obat dengan
reseptor yang terdapat dalam sel bakteri (Hadinegoro, 1999).
Ø Penggolongan
Zat
antibakteri dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, berdasarkan efek yang
dihasilkan terhadap pertumbuhan bakteri (Madigan, et al.,
2003) yaitu:
1. Bakteriostatik
Bakteriostatik
merupakan efek yang menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi tidak menyebabkan
kematian seluruh bakteri. Mekanisme bakteriostatik biasanya terjadi pada
ribosom yang menyebabkan penghambatan sintesis protein.
2. Bakterisidal
Zat
yang bersifat bakterisidal dapat membunuh bakteri, tetapi tidak menyebabkan
lisis atau pecahnya sel bakteri.
Ø Mekanisme Kerja
Zat
antibakteri dapat melakukan aktivitasnya melalui beberapa mekanisme (Tjay &
Rahardja, 2002) yaitu:
1. Mengganggu
sintesis dinding sel
Sintesis dinding sel bakteri dapat diganggu zat
antibakteri, sehingga dinding sel yang terbentuk menjadi kurang sempurna dan
tidak tahan terhadap tekanan osmotis, sehingga menyebabkan pecahnya sel.
2. Mengganggu
sintesis membran sel
Sintesis
molekul lipoprotein membran sel bakteri dapat diganggu zat antibakteri,
sehingga membran menjadi lebih permeabel yang menyebabkan keluarnya zat-zat
penting dari sel.
3. Mengganggu
sintesis protein sel
Zat
antibakteri dapat berikatan dengan sub unit ribosom bakteri, sehingga
menghambat sintesis asam-asam amino dan menghasilkan protein yang inaktif.
4. Mengganggu
sintesis asam nukleat
5. Antagonisme
saingan
Zat
antibakteri dapat bersaing dengan zat-zat yang diperlukan untuk proses
metabolisme, sehingga proses tersebut
terhenti.
2.3.5 Pengujian Zat Antibakteri
Zat
antibakteri adalah senyawa alami atau sintetik yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri (Madigan, et al.,
2003). Aktivitas antibakteri ditentukan oleh interaksi zat tersebut dengan
bakteri. Oleh karena itu, kualitas zat antibakteri dapat ditentukan berdasarkan
aktivitas obat dengan reseptor
yang terdapat dalam sel bakteri (Hadinegoro, 1999). Proses pengujian
atau evaluasi zat antibakteri dapat melalui beberapa tahapan yaitu isolasi dan
pemurnian, pemeriksaan efisiensi antibakteri, produksi skala kecil, uji
toksisitas, produksi skala besar, dan uji klinis (S. Hogg, 2005).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Waktu
dan Tempat Penelitian
Penelitian
ini akan dilakukan
selama satu bulan di Laboratorium Bio-Science dan Laboratorium Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana
Kupang.
3.2.
Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan
dalam Penelitian ini adalah: spoit/suntik,
timbangan digital, alumunium foil,
haemocytometer, mikroskop, pH meter, rotary evaporasi, aerasi dan akuarium. Berdasarkan kegunaannya dapat dilihat pada tabel 1
dibawah ini.
Tabel
1. Alat dan Kegunaan
No.
|
Alat
|
Kegunaan
|
1.
|
Spoit/Suntik
|
Alat untuk menyuntikkan madu ke dalam tubuh ikan.
|
2.
|
Timbangan digital
|
Menimbang bahan.
|
3.
|
Alumunium foil
|
Untuk membungkus alat-alat.
|
4.
|
Haemocytometer
|
Untuk menghitung sel darah.
|
5.
|
Mikroskop
|
Alat untuk mengamati dan menghitung sample.
|
6.
|
Aerasi
|
Memasok O2 pada setiap aquarium.
|
7.
|
Akuarium
|
Sebagai wadah dalam pemeliharaan ikan uji.
|
8.
|
pH meter
|
Mengukur derajat keasaman air.
|
9.
|
DO meter
|
Mengukur oksigen terlarut.
|
10.
|
Termometer
|
Mengukur suhu air.
|
3.2.2 Bahan
Bahan
yang digunakan yaitu ikan nila, isolat bakteri Aeromonas hydrophila, madu timor,
larutan turk, larutan hayem, kaporit, HCL 0,1 N, aquades, detergen dan pellet.
Bahan yang digunakan
diatas memiliki kegunaan seperti yang tercantum pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel
2. Bahan dan Kegunaan
No.
|
Bahan
|
Kegunaan
|
1.
|
Ikan Nila
|
Sebagai biota uji yang diperoleh dari BBIS Noekele.
Ukuran 10-15 cm sebanyak 50 ekor.
|
2.
|
Isolat bakteri Aeromonas
hydrophila
|
Untuk menginfeksi biota uji
|
3.
|
Madu timor
|
Sebagai bahan perlakuan dalam penelitian
|
4.
|
Larutan turk
|
Sebagai pengencer darah pada saat penghitungan sel
darah putih.
|
5.
|
Larutan hayem
|
Sebagai pengencer darah dalam menghitung sel darah
merah.
|
6.
|
Kaporit
|
Untuk membunuh bakteri, virus dan kuman.
|
7.
|
HCL 0,1 N
|
Sebagai larutan pengencer untuk menghitung kadar
hemoglobin.
|
8.
|
Aquades
|
Pelarut media agar, dll.
|
9.
|
Detergent
|
Untuk membersihkan alat penelitian.
|
10.
|
Pellet
|
Sebagai pakan ikan.
|
3.3. Prosedur
Penelitian
3.3.1 Persiapan
Wadah.
Wadah
pemeliharaan yang digunakan berupa akuarium dengan ukuran 70 x 60 x 45 cm3 sebanyak 9 buah akuarium. Wadah
pemeliharaan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian seperti selang
aerasi dan batu aerasi juga dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan
dengan menggunakan detergen dan direndam dalam larutan kaporit agar bebas dari
mikroorganisme penyebab penyakit. Selanjutnya wadah pemeliharaan dinetralkan
dengan natrium thiosulfate. Setelah itu, wadah diisi dengan air yang bersih sebanyak
10 liter.
3.3.2
Persiapan Ikan Uji dan Bakteri Aeromonas hydrophila.
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila.
Ikan nila ini diperoleh dari BBIS Noekele, kecamatan kupang timur, kabupaten
kupang. Ukuran ikan uji untuk
penelitian yaitu ukuran 10-13 cm. Jumlah ikan yang digunakan dalam penelitian
ini sebanyak 45 ekor, dimana setiap aquarium berisi 5 ekor ikan uji. Sedangkan
bakteri A. hydrophilla diperoleh dari
hasil kultur di laboratorium.
3.3.3
Pemeliharaan Ikan Uji
Ikan nila yang didatangkan dari BBIS Noekele
diaklimatisasikan terlebih dahulu selama 5 hari dalam wadah yang berukuran
besar. Selama masa aklimatisasi, air harus selalu dikontrol agar ikan tidak
stress dan ikan uji harus diberi pakan setiap hari secara adlibitum agar ikan
tidak lapar dan tidak terserang penyakit. Dalam pemeliharaan ikan nila perlu
diperhatikan aerasi agar ikan tidak kekurangan oksigen di dalam aquakurium.
3.3.4
Persiapan
Madu Timor
Madu
yang digunakan dalam penelitian ini adalah madu yang benar-benar asli dari
pulau timor yang belum tercampur dengan bahan lainnya. Madu timor yang dipakai untuk penelitian sebaiknya madu yang masih
segar dan baru didatangkan dari penjual, karena madu yang masih baru memiliki
zat antibakteri yang tinggi.
3.3.5 Uji Pencegahan
dan Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila
Ikan uji yang telah diadaptasikan dipindahkan ke tiap
wadah percobaan sesuai dengan masing-masing perlakuan. Ikan yang akan dipakai
sebagai bahan penelitian terlebih dahulu disuntik madu timor dengan
menggunakkan spoit/suntik. Cara menyuntikkan madu timor ke dalam tubuh ikan
yaitu melalui mulut (oral). Ikan uji diberi madu timor berdasarkan konsentrasi
setiap perlakuan.
Setelah semua ikan diberi madu timor, ikan tersebut terlebih
dahulu dipelihara dalam aquarium selama 3 hari agar madu timor dapat bereaksi dalam
tubuh ikan sebelum diinfeksi bakteri A.
hydrophilla. Setelah ikan uji dipelihara selama 3 hari maka dilakukan
penyuntikkan bakteri A. hydrophilla pada
tubuh ikan dengan kepadatan 106
sel/ml.
3.3.6 Pemeliharaan dan Pengamatan
Ikan yang sudah disuntik dengan madu timor dan telah
diinfeksi dengan bakteri A. hydrophilla
dipelihara dalam wadah aquarium dalam kondisi kualitas air yang baik dan pakan
yang cukup. Sedangkan pemeriksaan hematologi dilakukan pada ikan sehat, setelah
pemberian madu timor dan sesudah diinfeksi bakteri A. hydrophilla
Pengamatan
dilakukan pada gejala klinis dan tingkah laku ikan, yaitu
a. Gerakan refleks
Pengamatan
gerakan refleks pada ikan dilakukan sebelum ikan terinfeksi bakteri A. hydrophilla dan sesudah ikan uji disuntik dengan madu. Pengamatan gerakan refleks pada ikan uji ini dilakukan dengan
melihat reaksi ikan saat permukaan air pada akuarium (wadah) ditepuk.
b. Nafsu makan
Pengamatan
nafsu makan ikan uji dilakukan dari awal hingga akhir penelitian, yaitu: pada
ikan sehat, setelah pemberian madu timor (pencegahan) dan sesudah diinfeksi
bakteri A. hydrophilla.
c. Luka fisik akibat aktivitas
bakteri A. Hydrophilla.
Sebagai data penunjang atau tambahan maka dilakukan pengukuran kualitas air yang
meliputi suhu, pH dan oksigen terlarut yang dilakukan pada awal dan akhir
penelitian.
3.4
Parameter yang Diuji
3.4.1
Hematologi Ikan Nila
Darah ikan diambil pada bagian depan sirip ekor dengan menggunakan injeksi yang terlebih dahulu diisi dengan
Na-citrat. Darah yang telah diambil selanjutnya dilakukan pengamatan
hematologinya yang meliputi eritrosit, leukosit dan kadar hemoglobin.
a) Perhitungan sel darah merah
(eritrosit)
Pertama darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir
pengaduk warna merah sampai skala 1 (pipet untuk mengukur jumlah sel darah
merah). Lalu ditambahkan larutan hayem sampai skala 101, pipet
kemudian diayun membentuk angka 8 selama 3-5 menit hingga darah tercampur rata. Larutan hayem ini berfungsi untuk
mematikan sel-sel darah putih. Setelah itu dibuang dua tetes
pertama larutan darah dalam pipet selanjutnya diteteskan pada haemocytometer
dan tutup dengan glass penutup. Kemudian hitung jumlah sel darah
merah dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Jumlah eritrosit
dihitung sebanyak 10 kotak kecil dan konversikan menurut jumlah total kotak
kecil hingga mendapatkan sel darah merah per ml. Rumus untuk menghitung eritrosit
(Nabib dan Pasaribu, 1989 dalam
Thomas, 2013) adalah sebagai berikut:
![]() |
dimana:
a
: Jumlah sel darah merah
n
: Jumlah kotak hemocytometer
v
: Volume hemocytometer
Fp
: Faktor pengenceran
b) Perhitungan sel darah putih
(leukosit)
Pertama darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir
pengaduk warna putih sampai skala 0,5. Lalu ditambahkan larutan truk’s sampai
skala 11, pipet kemudian diayun membentuk angka 8 selama 3-5 menit hingga darah
tercampur rata. Larutan truk’s bersifat asam yang akan mengakibatkan lisisnya
sel darah merah sehingga yang tertinggal hanya sel darah putih. Setelah itu
dibuang dua tetes pertama larutan darah dalam pipet selanjutnya diteteskan pada
haemocytometer dan tutup dengan cover glass . Cairan akan memenuhi ruang hitung secara kapiler.
Kemudian hitung jumlah sel darah putih atau leukosit total dengan bantuan
mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Jumlah sel yang terdapat pada 5 kotak
besar, lalu konversikan angka tersebut menurut jumlah total kotak besar
sehingga didapatkan jumlah sel darah putih per ml . Rumus untuk menghitung leukosit (Nabib
dan Pasaribu, 1989 dalam Thomas,
2013) adalah sebagai berikut:

dimana:
a
: Jumlah sel darah putih
n
: Jumlah kotak hemocytometer
v
: Volume hemocytometer
Fp
: Faktor pengenceran
c) Perhitungan Hemoglobin
Prosedur perhitungan hemoglobin dengan metode sahli (Wedemeyer dan Yasutake, 1977 dalam Thomas, 2013) adalah:
a. Darah ikan disiapkan sebanyak 20 mm3 yang telah diberi
Natrium Citrate 3,8% dalam pipet sahli.
b. Tambahkan larutan HCL 0,1 N sampai
tepat pada angka 2g% pada tabung sahli kemudian dicampur dengan aquades hingga
menunjukkan warna yang sama dengan warna
larutan sahli dan beberapa g% ketika warna telah sama, hasil tersebut merupakan
kadar hemoglobin pada ikan.
Rumus menghitung konsentrasi hemoglobin pada darah (Wedemeyer dan Yasutake, 1977 dalam Thomas, 2013):
Jika standar warna dinyatakan 100% mengandung 14,8g/100ml,
dan pembaca terlihat Y, maka:
![]() |
dimana;
14,8 : Standar warna pada tabung sahli
Y : Pembaca pada tabung sahli
100
: Konsentrsi hemoglobin dalam 1 ml darah
3.4.2 Sintasan
Ikan Nila
Pengukuran
sintasan ikan nila menggunakan rumus yang dikemukakan dalam Effendi, (1997) sebagai
berikut :
![]() |
dimana
:
S = Sintasan (%)
Nt = jumlah ikan pada akhir
penelitian (individu)
N0 = jumlah ikan pada awal
penelitian (individu)
3.4.3
Pemeriksaan Kualitas Air
Pemeriksaan kualitas air dilakukan sebagai berikut:
a. Suhu diukur dengan menggunakan
thermometer
b. pH air diukur dengan menggunakan pH
meter
c.
Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan DO meter
3.5
Rancangan Percobaan
Penelitian ini akan dilakukan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) berdasarkan Gasperz (1991) dengan 3
ulangan dan 3 perlakuan , dimana :
1.
Perlakuan A : Penyuntikan madu timor dengan konsentrasi
sebanyak 75%.
2.
Perlakuan B : Penyuntikan madu timor dengan konsentrasi
sebanyak 50%.
3.
Perlakuan C : Penyuntikan madu timor dengan konsentrasi
sebanyak 25% .
3.6
Hipotesis Statistik
H0 :Tidak ada pengaruh pemberian madu timor
terhadap bakteri A. hydrophilla.
H1 : Ada pengaruh pemberian madu timor
terhadap bakteri A. hydrophilla.
3.7
Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh madu
timor dalam mencegah penyakit Aeromonas
hydrophyla pada ikan nila maka dilakukan analisa dengan menggunakan
Analisis Sidik Ragam (ANOVA) apabila memberikan pengaruh nyata terhadap
hematologi dan sintasan ikan nila, maka dilakukan
uji lanjut dengan menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).