Selasa, 09 Agustus 2016

Manajemen Air Payau di Desa Bipolo, Kab. Kupang



I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia perikanan merupakan dunia yang kaya akan sumberdaya hayati, dimana begitu banyak komoditi yang menjamin kita untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomis di dalamnya, salah satu kegiatan tersebut adalah kegiatan usaha budidaya. Adapun usaha budidaya dalam bidang perikanan tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu usaha budidaya perairan laut, budidaya perairan payau dan budidaya perairan tawar. Ketiga usaha budidaya tersebut masing-masing telah berkembang pesat pada masyarakat indonesia saat ini pada umumnya dan masyarakat sulawesi tengah pada khususnya.
Khusus untuk budidaya perairan payau, ramai digalakkan oleh masyarakat saat ini adalah budidaya bandeng dan udang di tambak. Adapun pengertian dari daerah payau itu sendiri adalah merupakan daerah daratan pantai dengan genangan-genangan air, campuran air asin dan air tawar dan biasanya merupakan daerah supralitoral.
Tekhnisnya untuk tambak itu sendiri sudah dikenal sejak abad ke-14 dan lazim digunakan sebagai wadah pemeliharaan ikan bandeng dan udang, namun tidak banyak mengalami perubahan dalam hal konstruksi dan rancang bangun. Dalam hal ini tambak dapat dibuat dengan konstruksi yang sederhana dan murah, tetapi kuantitas maupun kualitas produksinya cenderung rendah.




II HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Waktu Dan Tempat
Praktikum pengamatan tambak Bipolo dilakukan pada tanggal 26 Mei 2015 dimulai dari jam 10.00 pagi sampai selesai yang dilaksanakan di Desa Bipolo Kecamatan Kupang Timur, Kab. Kupang.
2.2 Alat Dan Bahan
Alat
Fungsi
Pulpen
Mencatat data – data di lapangan
Buku
Media untuk mencatat hasil yang ada di lapangan
Kamera
Sebagai dokumentasi untuk memotret keadaan tambak
2.3 Prosedur Pengamatan
Pengamatan tambak Bipolo dilakukan dengan cara :
- Pengamatan secara langsung
- Pengamatan dengan cara wawancara
2.4 Hasil Dan Pembahasan
          
         
 2.4.1 Sumber Air
 Desa Bipolo adalah desa yang terletak dekat dengan pesisir pantai. Oleh karena itu, masyarakat setempat memanfaatkan sumber air laut tersebut sebagai media untuk budidaya ikan bandeng.
2.4.2 Kriteria dan Konstruksi tambak
Suyanto & Mudjiman (1981), menyatakan bahwa ada beberapa kriteria lahan untuk dijadikan pertambakan yaitu sebagai berikut :
- Terdiri dari beberapa petakan tambak untuk berproduksi.
- Terdapat saluran-saluran suplai air.
- Adanya suplai air tawar dari sungai atau dari sumur pompa yang memadai.
- Pemasukan air asin dari laut yang mencukupi kebutuhan.
- Terdapat kolam pengendapan air, bila air keruh.
- Terdapat tempat untuk mendirikan gudang, rumah jaga, rumah untuk tekhnisi, unit pompa
Tanah yang ideal buat tambak ialah tanah yang bertekstur liat atau liat berpasir karena jenis tanah tersebut dapat menahan air. Tanah dengan tekstur tersebut mudah diperoleh dan tidak pecah-pecah di musim panas. Pembangunan pematang dengan tanah yang mengandung tanaman yang belum membusuk harus dihindari, karena tanggul itu akan menyusut dan banyak kebocoran (Buwono, 1992).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan, termasuk bandeng adalah luas ruang. Lebih lanjut, bahwa dalam ruang yang lebih luas, dengan asumsi semua faktor lain yang berpengaruh adalah sama, ikan tumbuh lebih cepat daripada dalam ruang yang lebih sempit.
2.4.3 Sistem Pemasukkan dan Pengeluaran Air
Pada tambak Bipolo kondisi air bersifat stagnan karena pemasukkan air dilakukan berdasarkan pasang dengan cara membuka pintu pemasukkan utama dan disuplai ke beberapa petakan tambak berupa pipa – pipa atau pintu pemasukkan. Sedangkan pintu pengeluaran air dilakukan pada saat proses pergantian air. Proses pergantian air dilakukan dengan mengurangi beberapa persen massa air dengan cara membuka pintu .


Sabtu, 27 Februari 2016

Proposal Penelitian Madu Timor Dalam Mencegah Bakteri A. hydrophilla



PROPOSAL PENELITIAN
Judul                   : Pengaruh Pemberian Madu Timor Dalam Mencegah   Bak   teri Aeromonas hydrophilla Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Secara in Vivo
Nama                  : Yunus Sabatudung
NIM                    : 1 2 0 4 0 5 7 0 4 0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Dalam kegiatan budidaya ikan air tawar khususnya ikan Nila, para pembudidaya pasti selalu diperhadapkan dengan berbagai masalah salah satunya yaitu penyakit. Penyakit yang sering menyerang ikan air tawar biasanya bersifat patogenik baik itu dari golongan parasit,bakteri,virus maupun jamur. Pencegahan terhadap penyakit harus dilakukan mulai dari benih sehingga pada saat mencapai umur dewasa ikan tersebut tidak membawa penyakit bagi organisme lain.
Penyakit merupakan salah satu kendala utama untuk keberhasilan produksi. Timbulnya penyakit dapat terjadi karena kepadatan ikan tinggi saat pemeliharaan, transportasi benih, penanganan, dan kualitas air yang buruk (Thanikachalam 2010). Ikan Nila mudah terserang penyakit akibat infeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Aeromonas hydrophila menyebabkan penyakit yang dikenal dengan Motile Aeromonas Septicemia (MAS). Penyakit ini berhubungan dengan gejala serangan penyakit yang disebabkan bakteri atau racun yang ditimbulkan bakteri yaitu septicemia pada permukaan tubuh ikan dan organ tubuh ikan lainnya. Bakteri ini adalah bakteri gram negatif berbentuk batang yang biasanya diisolasi dari kolam air tawar. Bakteri ini adalah organisme yang biasanya ditemui pada saluran pencernaan ikan. Penyakit yang diakibatkan bakteri ini menyerang berbagai jenis spesies ikan air tawar. Untuk mencegah terjadinya infeksi tersebut maka dilakukan kegiatan pencegahan terhadap penyakit.
Saat ini pencegahan penyakit  masih menggunakan obat-obatan berbahan kimia. Penggunaan bahan kimia yang tidak tepat akan berdampak bagi lingkungan dan bisa juga akan berdampak langsung bagi ikan yang dibudidayakan. Kendala seperti ini membuat para petani ikan menjadi khawatir dan takut untuk menggunakkan bahan kimia.
Untuk mengurangi dampak penggunaan bahan kimia yang berbahaya maka pencegahan penyakit dialihkan dengan menggunakkan antibakteri alami yang berasal dari hewan (lebah) yaitu madu. Lebah mengubah sakarida menjadi madu dengan proses mengunyah berkali-kali sampai setengah tercerna. Proses ini tidak dilakukan sekaligus. Setelah dikunyah, sakarida masih dalam bentuk cair dan masih mengandung banyak air, maka proses selanjutnya adalah penguapan sebanyak mungkin air dan transformasi dengan enzim. Menurut Codex Standard for Honey (1981), komponen utama dalam madu adalah glukosa dan fruktosa. Selain itu senyawa-senyawa lain yang terkandung dalam madu antara lain: protein, asam amino, enzim, asam-asam organik, mineral, tepung sari bunga, sukrosa, maltosa, melezitosa dan   oligosakarida lainnya termasuk dekstrin.
Hasil uji pendahulu aktivitas madu timur yang dilakukan  secara in vitro menunjukkan bahwa ekstrak madu timor dapat mencegah pertumbuhan bakteri A. hydrophylla dan V. alginolyticus. Namun, aplikasi ekstrak madu timor dalam mencegah atau mematikan  pertumbuhan bakteri A. hydrophylla pada ikan belum diteliti. Oleh karena itu, maka Peneliti perlu melakukan penelitian lanjutan dengan judul “Pengaruh Pemberian Madu Timor Dalam Mencegah Bakteri Aeromonas hydrophila Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Secara in Vivo”.
1.2.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.    Apakah ada pengaruh pemberian madu timor dalam mencegah bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan nila ?
2.    Berapakah konsentrasi madu timor yang tepat dalam mencegah bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan nila ?




1.3.       Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1.    Untuk mengetahui apakah ada pengaruh pemberian madu timor dalam mencegah bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan Nila (Oreochromis niloticus).
2.    Untuk mengetahui berapa konsentrasi madu timor yang tepat dalam mencegah bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan Nila (Oreochromis niloticus).

Manfaat dari penelitian ini :
1.    Bagi Mahasiswa : sebagai bahan referensi untuk menambah wawasan tentang pentingnya madu timor dalam mencegah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophilla dalam budidaya ikan air tawar.
2.    Sebagai bahan informasi bagi masyarakat khususnya petani ikan yang akan membuka usaha budidaya maupun yang sudah menjalankannya bahwa madu timor selain digunakan dalam bahan pangan, madu juga dapat digunakan sebagai obat atau antibakteri dalam mencegah penyakit yang disebabkan oleh bakteri.

1.4.       Hipotesis Penelitian
Pemberian ekstrak madu timor sebagai antibakteri diduga dapat mencegah pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophilla pada ikan Nila (Oreochromis niloticus).




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1         Ikan Nila
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)
Ikan nila merupakan spesies yang berasal dari kawasan Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya di Afrika. Bibit ikan nila didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969 dari Taiwan ke Bogor. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, ikan nila disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia (Wiryanta dkk. 2010). Klasifikasi ikan nila menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Ostheichthyes
Sub Class : Acanthoptherigii
Ordo : Percomorphii
Sub Ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus
Gambar 1. Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)
                  Sumber : (Saanin, 1984)
Berdasarkan morfologinya, kelompok ikan Oreochromis memang berbeda dengan kelompok tilapia. Secara umum, bentuk tubuh ikan nila memanjang dan ramping, dengan sisik berukuran besar. Bentuk matanya besar dan menonjol dengan tepi berwarna putih. Gurat sisi (linea literalis) terputus di bagian tengah tubuh kemudian berlanjut lagi, tetapi letaknya lebih ke bawah dibandingkan dengan letak garis yang memanjang di atas sirip dada.
Nila memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada (pectoral fin), sirip perut (venteral fin), sirip anal (anal fin), dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup insang sampai ke bagian atas sirip ekor. Sepasang sirip dada dan sirip perut ikan nila berukuran kecil, sedangkan sirip anusnya yang hanya satu buah berbentuk agak panjang. Sementara itu, jumlah sirip ekornya yang juga satu buah berbentuk bulat.
Jika dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya, ikan nila jantan memiliki ukuran sisik yang lebih besar dibandingkan dengan ikan nila betina. Alat kelamin ikan nila jantan terletak di depan anus. Bentuknya berupa tonjolan agak runcing, berfungsi sebagai saluran urine dan saluran sperma. Jika perut ikan nila jantan diurut, akan mengeluarkan cairan bening. Sementara itu, alat kelamin ikan nila betina juga terletak di depan anus, tetapi memiliki lubang genital yang terpisah dengan lubang saluran urine.
2.1.2 Habitat Dan Kebiasaan Hidup
Habitat ikan nila adalah perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk dan rawa-rawa, tetapi karena toleransinya yang luas terhadap salinitas (euryhaline), sehingga dapat pula hidup dengan baik di air payau dan laut. Salinitas yang cocok untuk nila adalah 0-35 ppt (part per thousand). Namun, salinitas yang memungkinkan nila tumbuh optimal adalah 0-30 ppt. pada salinitas 31-35 ppt nila masih hidup, tetapi pertumbuhannya lambat.
Sedangkan pH air yang cocok adalah 6 – 8,5, namun pertumbuhan optimalnya terjadi pada pH 7 – 8. Nilai pH yang masih ditolerir ikan nila adalah 5 – 11. Suhu  optimal untuk pertumbuhan ikan nila antara 25 – 300C. Pada suhu sampai sampai 220C nila masih dapat memijah, begitu pula pada suhu 370C. Pada suhu di bawah 140C atau lebih 380C nila mulai terganggu. Sedangkan suhu mematikan berada pada suhu 60C dan 420C.
Karena itu, nila dapat dibudidayakan di dataran rendah sampai pada ketinggian 1.000 m dpl (di atas permukaan laut). Di Afrika, nila masih dapat dibudidayakan pada ketinggian di atas 1.000 m dpl. Namun, produksi optimal (5 ton/ha/tahun) dicapai pada ketinggian hanya beberapa meter dpl. Produksi nila menurun antara 200 – 300 kg/ha/tahun untuk setiap kenaikan 100 m. Di daerah tropis seperti Indonesia, pertumbuhan optimal ikan nila antara 0 – 500 m dpl.
Ikan nila juga dapat hidup pada perairan dengan kandungan oksigen minim, kurang dari 3 ppm (part per million). Karena itu, ikan nila dapat dipelihara di kolam tadah hujan dan air tergenanglain yang minim oksigen, termasuk di kolam terpal. Namun demikian, untuk pertumbuhan optimalnya, nila membutuhkan perairan dengan kandungan oksigen minimal 3 ppm.
Nila dapat hidup di perairan yang dalam dan luas seperti danau dan waduk, maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Nila juga dapat hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya, di waduk, danau, rawa-rawa, sawah, tambak air payau hingga pada KJA (keramba jaring apung) di laut.
2.1.3 Kebiasaan Makan dan Laju Pertumbuhan Ikan Nila
Ikan nila memiliki respon yang luas terhadap pakan dan memiliki sifat omnivora sehingga bisa mengkonsumsi makanan berupa hewan dan tumbuhan (Huet 1971 dalam Haryono dkk. 2001). Di perairan alam ikan nila memakan plankton, perifiton, benthos maupun tumbuhan air atau gulma air yang lunak, bahkan cacing pun dimakan (Susanto 1987). Menurut Soenanto (2004) ikan nila dapat diberi dedak halus, bekatul, ampas kelapa, bungkil kacang dan sisa makanan.
Haryono (2001) menyatakan bahwa produksi ikan nila yang maksimal memerlukan pemeliharaan yang intensif, yang mana dalam pemeliharaannya memerlukan pemberian pakan tambahan berupa pellet. Pellet yang diberikan untuk ikan nila harus diimbangi dengan kenaikan berat ikan secara ekonomis, sehingga akan lebih baik apabila bahan pakan yang diberikan berstatus limbah namun masih memenuhi kebutuhan gizi ikan nila.
Benih ikan nila dapat dibedakan menjadi beberapa kelas atau fase, yaitu fase larva (ukuran 0,6-0,7 cm), fase kebul (ukuran 1-3 cm), gabar (ukuran 3-5 cm), belo (ukuran 5-8 cm) dan sangkal (ukuran 8-12 cm). Pada kegiatan budidaya fase larva dan kebul disebut dengan pendederan I, fase gabar disebut pendederan II, fase belo disebut pendederan III dan fase sangkal disebut pendederan IV. Adapun dosis pellet yang diberikan untuk benih ikan nila yaitu sebanyak 3%-5% dari total biomassa ikan dengan kandungan protein antara 20%-25%, lemak 6%-8% (SNI 1999), pellet yang diberikan bisa berupa pellet crumble ataupun pellet utuh disesuaikan dengan bukaan mulut ikan.
Kebiasaan memakan makanan hewani dan nabati tergantung umur ikan nila. Pada saat larva, setelah habis kuning telur, ikan nila suka dengan phytoplankton. Setelah ukuran badannya menjadi sedikit lebih besar, benih ikan nila sangat suka dengan zooplankton, seperti Rotifera sp, Impusoria sp, Daphnia sp, Moina sp dan Cladocera sp. Setelah dewasa, ikan nila sangat suka dengan cacing, seperti cacing tanah, cacing darah dan tubifex. Selain itu, bahan makanan nabati berupa daun talas adalah makanan kesukaan ikan nila.
Laju pertumbuhan tubuh ikan nila yang dibudidayakan tergantung pada pengaruh fisika dan kimia perairan serta interaksinya. Sebagai contoh, curah hujan yang tinggi akan mengganggu pertumbuhan tanaman air dan secara tidak langsung akan mepengaruhi pertumbuhan ikan nila yang dipelihara. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa laju pertumbuhan ikan nila lebih cepat jika dipelihara di kolam yang airnya dangkal dibandingkan dengan di kolam yang airnya dalam.
Perlu diketahui juga, laju pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat 40% dibandingkan dengan laju pertumbuhan ikan nila betina. Terlebih lagi jika ikan ini dipelihara secara terpisah berdasarkan jenis kelaminnya (monosex). Jika sudah mencapai ukuran 200 gram, pertumbuhan ikan nila menjadi semakin lambat. Namun, hal ini hanya terjadi pada nila betina, sedangkan nila jantan akan tetap tumbuh pesat.
2.1.4   Perkembangbiakan Ikan Nila
Secara alami, ikan nila memijah sepanjang tahun di perairan di daerah tropis. Frekuensi pemijahan yang terbanyak terjadi pada musim hujan. Di alam, ikan nila dapat memijah 6-7 kali dalam setahun. Ikan ini mencapai stadium dewasa pada umur 4-5 bulan, dengan bobot sekitar 250 gram. Masa pemijahan produktif berlangsung ketika induk berumur 1,5-2 tahun dengan bobot di atas 500 gram per ekor. Seekor ikan nila betina dengan bobot sekitar 800 gram menghasilkan larva sebanyak 1.200-1.500 ekor setiap kali memijah.
Sebelum memijah, ikan nila jantan selalu membuat sarang berupa lekukan berbentuk bulat di dasar perairan dengan diameter sama dengan ukurannya. Sarang ini merupakan daerah teritorial ikan nila jantan yang nantinya juga digunakan sebagai lokasi pemijahan dan pembuahan telur.
Saat masa berahi, warna ikan nila jantan akan berubah menjadi cerah. Sifatnya menjadi sangat agresif dalam menjaga daerah teritorialnya. Proses pemijahan ikan nila berlangsung sangat cepat. Dalam waktu 50-60 detik sepasang ikan nila yang memijah mampu menghasilkan 20-40 butir telur yang telah dibuahi. Pemijahan akan terjadi beberapa kali dengan pasangan yang sama atau berbeda selama 20-60 menit. Telur ikan nila berdiameter 2,8 mm, berwarna abu-abu atau kadang-kadang kuning, tidak lengket, dan tenggelam di dasar perairan.
Telur-telur yang telah dibuahi akan dierami di dalam mulut induk betina dan akan menetas dalam waktu 4-5 hari. Telur yang sudah menetas disebut larva, panjangnya 4-5 mm. Larva yang baru menetas diasuh oleh induk betina hingga mencapai umur 11 hari (ukuran 8 mm). Benih-benih yang sudah tidak diasuh oleh induknya akan berenang secara bergerombol di peraiaran yang dangkal atau di pinggir kolam. 
2.1.5   Penyakit yang Menyerang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Penyakit dapat didefenisikan sebagai salah satu yang dapat menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur alat tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung (Kordi, 2004). Ditinjau dari penyebab penyakit pada organisme budidaya dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu penyakit infeksi dan non-infeksi.
Penyakit infeksi (menular) yang biasa menyerang ikan nila yaitu; Trichodina sp, biasanya menyerang bagian luar seperti kulit, sirip dan insang. Saprolegniasis adalah penyakit yang disebabkan oleh sejenis jamur dan biasanya menyerang telur, larva dan benih ikan. Epistylis spp, ciri-ciri ikan yang terserang Epistylis spp bagian insang berwarna merah kecoklatan, ikan sukar bernapas, gerakan lambat dan pertumbuhannya lambat serta penyakit bercak merah. Sedangkan penyakit non-infeksi disebabkan karena menurunnya kualitas air, pemberian pakan yang kurang tepat sehingga bisa menimbulkan keracunan pada ikan, penanganan ikan yang tidak benar serta genetis.
2.2         Bacteri Aeromonas Sp.
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri yang penyebarannya luas. Bakteri ini dapat ditemukan pada air tawar terpolusi maupun pada air laut yang kadar garamnya tinggi. Selain itu bakteri ini juga ditemukan pada intestinum ikan yang sehat. Bakteri ini termasuk bakteri gram negatif, motil dan berbentuk batang (0,3-1,0 x 1,0 3,5mm).
A. hydrophilla mungkin paling sering menyebabkan wabah pada ikan yang dibudidayakan maupun ikan yang hidup bebas pada air tawar. Penyakit akibat bakteri ini biasanya diasosiasikan dengan penyakit bakterial hemoragik septikemia pada ikan (dikenal sebagai aeromonad septicemia atau red pest ) yang mengalami stress karena berbagai penyebab. Penyakit ini dapat tertular setiap saat, walaupun biasanya sering terjadi pada saat musim panas dimana temperatur air meningkat dan ikan mengalami stress karena pergantian musim dari musim panas ke musim dingin. Selain itu hal ini juga dapat terjadi akibat lingkungan yang kurang bagus.
2.2.1 Klasifikasi Aeromonas hydrophila
Pada mulanya Aeromonas hydrophila dikenal dengan nama Bacilus hydrophilus fuscus. Bakteri ini pertama kali diisolasi dari kelenjar pertahanan katak yang mengalami perdarahan septisemia. Pada tahun 1936, Kluiver dan Van Niel telah mengelompokkan genus Aeromonas. Selanjutnya pada tahun 1984, Popoff telah memasukan genus Aeromonas ke dalam famili Vibrionaceae (Anonimous 2004 diacu dalam Yudha 2005).
Mikroorganisme ini secara normal dapat ditemukan dalam lingkungan perairan (Blair et al. 1999 diacu dalam Robinson et al. 2000). Aeromonas hydrophila diisolasi dari manusia dan binatang sampai dengan tahun 1950. Bakteri ini memiliki nama sinonim A. formicans dan A. liquefaciens (Sismeiro et al. 1998).


Berikut adalah klasifikasi Aeromonas hydrophila (Holt et. al. 1998):
Filum   :
 Protophyta
Kelas   :
 Schizomycetes
Ordo    :
 Pseudanonadeles
Family :
 Vibrionaceae
Genus  :
 Aeromonas
Spesies: Aeromonas hydrophila
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtBexLp5bdaLHhSr0VJ5-Byiy_s5GdhyphenhyphenM-yzS6MBVv-78JaS0JPgf_z4KoP7VvwW7QFqaK72mFOMENY3rJy0J4InU6pVeKxbX0eokYwLWUlBJGKDV3PyNIZpaWL4cwh8CLOlfjuFpR4SQ/s200/aeromonas+sp.jpg
Gambar 2. Bakteri A. hydrophilla
Sumber : (Holt et. al. 1998)
2.2.2  Karakteristik Aeromonas hydrophila
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri heterotrophic unicellular, tergolong protista prokariot yang dicirikan dengan adanya membran yang memisahkan inti dengan sitoplasma. Bakteri ini biasanya berukuran 0,7-1,8 x 1,0-1,5 µm dan bergerak menggunakan sebuah polar flagel (Kabata 1985). Hal ini diperkuat oleh Krieg dan Holt (1984) yang menyatakan bahwa Aeromonas hydrophila bersifat motil dengan flagela tunggal di salah satu ujungnya. Bakteri ini berbentuk batang sampai dengan kokus dengan ujung membulat, fakultatif anaerob, dan bersifat mesofilik dengan suhu optimum 20 - 30 ºC (Kabata 1985).
Aeromonas hydrophila bersifat gram negatif, oksidasi positif dan katalase positif (Krieg dan Holt 1984). Bakteri ini juga mampu memfermentasikan beberapa gula seperti glukosa, fruktosa, maltosa, dan trehalosa. Hasil fermentasi dapat berupa senyawa asam atau senyawa asam dengan gas. Pada nutrient agar, setelah 24 jam dapat diamati koloni bakteri dengan diameter 1-3 mm yang berbentuk cembung, halus dan terang (Isohood dan Drake 2002).
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri yang secara normal ditemukan dalam air tawar. Infeksi Aeromonas hydrophila dapat terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, stress, perubahan temperatur, air yang terkontaminasi dan ketika panas telah terinfeksi oleh virus, bakteri atau parasit lainnya (infeksi sekunder). Oleh kerena itu bakteri ini disebut dengan bakteri yang bersifat patogen oportunistik (Dooley et al. 1985).
Bakteri ini dapat bertahan dalam lingkungan aerob maupun anaerob dan dapat mencerna material-material seperti gelatin dan hemoglobin. Aeromonas hydrophila resisten terhadap chlorine serta suhu yang dingin (faktanya Aeromonas hydrophila dapat bertahan dalam temperatur rendah ± 4 ºC), tetapi setidaknya hanya dalam waktu 1 bulan (Krieg dan Holt 1984). Austin (1993) menambahkan bahwa sebagian besar isolat Aeromonas hydrophila mampu tumbuh dan berkembangbiak pada suhu 37oC dan tetap motil pada suhu tersebut. Disamping itu, bakteri Aeromanas hydrophila mampu tumbuh pada kisaran pH 4,7-11,0 (Cipriano et al. 1984 diacu dalam Fauci 2001).
Aeromonas hydrophila menyebabkan penyakit Motile Aeromonas Septicemia (MAS) atau penyakit bercak merah. Bakteri ini menyerang berbagai jenis ikan air tawar seperti lele dumbo, (Clarius glariepinus), ikan mas (Cyprinus carpio), gurami (Osphronemus gouramy), ikan nila (Oreochromis niloticus), dan udang galah (Macrobracium rusenbergil) dan dapat menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat tinggi (80-100dalam waktu 1-2 minggu. Pengendalian bakteri ini sulit karena memiliki banyak strain dan selalu ada di air serta dapat menjadi resisten terhadap obat-obatan (Kamiso dan Triyanto 1993)
Patogenesa Penyakit
Menurut Botterelli dan Ossiprandi 1999 yang diacu dalam Hidayat 2006, sebagaimana halnya bakteri enteropatogenik, terdapat dua mekanisme patogenesa infeksi bakteri Aeromonas hydrophila, yaitu:
1. Tissue adherence. Mekanisme ini diperantarai oleh S-Layer. S-Layer membantu penempelan dan kolonisasi bakteri pada mukosa usus. Proses ini juga dibantu oleh struktur filamentous (fimbriae) atau membranous (adhesins) yang memiliki aktivitas hemagglutinasi, terutama ditemukan pada strain mesofilik.
2. Toxin production. Toksin Aeromonas dapat diklasifikasikan menjadi endotoksin dan eksotoksin. Cytotoxins dan enterotoxins (termasuk aktivitas haemolytic) merupakan yang paling penting dalam patogenitas.
Patogenitas Aeromonas hydrophila
Aeromonas hydrophila yang patogen, diduga memproduksi faktor-faktor eksotoksin dan endotoksin, yang sangat berpengaruh pada patogenitas bakteri ini. Eksotoksin merupakan komponen protein terlarut, yang disekresikan oleh bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial. Produksi toksin ini biasanya spesifik pada beberapa spesies bakteri tertentu baik Gram positif maupun Gram negatif, yang menyebabkan terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut. Endotoksin adalah toksin yang merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri Gram negatif. Aktivitas biologis dari endotoksin dihubungkan dengan keberadaan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen penyusun permukaan dari membran terluar (outer membrane) bakteri Gram negatif (Syamsir 2008).
Eksotoksin yang diproduksi oleh A. hydrophyla meliputi hemolisin, protease, elastase, lipase, sitotoksin, enterotoksin, gelatinase, kaseinase, lecithinase dan leucocidin. Hemolisin merupakan enzim yang mampu melisiskan sel-sel darah merah dan membebaskan hemoglobinnya. Protease adalah enzim proteolitik yang berfungsi untuk melawan pertahanan tubuh inang untuk berkembangnya penyakit dan mengambil persediaan nutrient inang untuk berkembangbiak (Angka 2001). A. hydrophila dapat memanfaatkan albumin, kasein, fibrinogen, dan gelatin sebagai substrat protein. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bakteri ini bersifat proteolotik (Shotts et al. 1985), sehingga berpotensi besar sebagai patogen ikan. Adanya enzim proteolitik akan merusak dinding intenstin, sehingga terjadi penebalan dinding, udem dan semi transparan (Munro 1982). Ketika Aeromonas hydrophila masuk ke dalam tubuh inang, maka toksin yang dihasilkan akan menyebar melalui aliran darah menuju organ. Enterotoksin merupakan suatu toksin ekstraseluler bakteri yang khususnya menyerang saluran gastrointestinal. Lechitinase adalah enzim yang menghancurkan berbagai sel jaringan dan terutama aktif melisiskan sel-sel darah merah, sedangkan leucocidin adalah enzim yang dapat membunuh sel-sel darah putih (Pleczar & Chan 1988). Hirono dan Aoki (1991) menambahkan bahwa Aeromonas hydrophila dapat memproduksi toksin ekstrasellular acetylcholinesterase, phospholipids, acyltransferase dan protease.
Aeromonas hydrophila juga memiliki kemampuan untuk menempel pada sel tubuh ikan melalui aktifitas adhesins (Trust et al. diacu dalam Austin & Austin 1993). Adhesins ini bersifat sangat selektif, hanya mampu mengenali rantai polimer D-mannosa dan L-sucosa yang terletak pada permukaan sel eukariot. Dengan menempelnya Aeromonas hydrophila pada permukaan sel inang, kemungkinan besar sel inang tersebut akan terinfeksi (Austin & Austin 1993).
2.2.3  Habitat
Bakteri Aeromonas hydrophila memiliki kemampuan osmoregulasi yang tinggi dimana mampu bertahan hidup pada perairan tawar, perairan payau dan laut yang memiliki kadar garam tinggi dengan penyebaran melalui air, kotoran burung, saluran pencernaan hewan darat dan hewan amfibi serta reptil (Mangunwardoyo et al., 2010).
Lingkungan yang mempunyai konsentrasi kadar garam tertentu memiliki kerapatan A. hydrophilla yang jauh lebih tinggi dibandingkan lingkungan air tawar, meskipun variasi dalam kepadatan antara habitat dengan kadar garam tertentu jauh lebih besar daripada habitat air tawar umumnya.
A. hydrophilla tidak dianggap sebagai bakteri laut, namun studi ini menunjukkan bahwa itu ditemukan secara alami bakteri A. hydrophilla hidup dilingkungan yang mempunyai kadar garam air laut, air payau sampai dengan air tawar dan dapat ditemukan di semua salinitas, kecuali (paling ekstrim> 100%o). Baru-baru ini, bakteri A. hydrophilla menyebabkan penyakit borok pada ikan cod (Gadus morhua), dan ikan laut lainnya. A. hydrophilla dapat diisolasi dari perairan yang memiliki kekeruhan 0-395 unit turbidity Jackson. Suhu yang optimum untuk pertumbuhan bakteri A. hydrophilla adalah 35°C, dan suhu maksimum yaitu mendekati suhu 450C. Dalam studi ini, A. hydrophilla diisolasi dari air yang memiliki suhu antara 40 dan 450 C. A. hydrophilla  tidak dapat diisolasi pada suhu lebih besar dari 450C, kepadatan tertinggi terjadi pada 350C, sepanjang gradient termal mulai dari 200 sampai 720C. pH air tampaknya tidak memainkan peran penting dalam distribusi A. hydrophilla, karena bakteri dapat diisolasi selama rentang pH seluruh sampel (5,2-9,8). Bakteri A. hydrophila tidak mampu tumbuh pada pH lebih rendah dari 4 atau lebih tinggi dari 10 (Hazen et al., 2011).
Bakteri A. hydrophila, merupakan bakteri negatif, dianggap sebagai salah satu bakteri patogen yang paling penting pada hewan air di daerah beriklim sedang, seperti ikan yang sakit, belut, katak, dan kura-kura. Selain itu bakteri A.hydrophila dilaporkan sebagai salah satu spesies Aeromonas paling umum yang terkait dengan penyakit usus pada manusia (Esteve et al.,  2004).
2.3         Madu
 Madu adalah cairan kental yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai sumber nektar. Senyawa – senyawa yang terkandung dalam madu bunga berasal dari nektar berbagai jenis bunga. Nektar adalah suatu senyawa kompleks yang dihasilkan oleh kelenjar “necterifier” tanaman dalam bentuk larutan gula yang bervariasi. Komponen utama dari nektar adalah sukrosa, fruktosa, dan glukosa serta terdapat juga dalam jumlah kecil sedikit zat – zat gula lainnya seperti maltosa, melibiosa, rafinosa serta turunan karbohidrat lainnya. (Adji, S, 2004).
Gambar 3. Madu
Sumber: (Adji, S. 2004)
Madu mengandung banyak mineral seperti natrium, kalsium, magnesium, alumunium, besi, fosfor, dan kalium. Vitamin–vitamin yang terdapat dalam madu adalah thiamin (B1), riboflavin (B2), asam askorbat (C), piridoksin (B6), niasin, asam pantotenat, biotin, asam folat, dan vitamin K. Sedangkan enzim yang penting dalam madu adalah enzim diastase, invertase, glukosa oksidase, peroksidase, dan lipase. Selain itu unsur kandungan lain madu adalah memiliki zat antibiotik atau antibakteri (Adji, S, 2004). 
Menurut hasil pengkajian dari para ahli, lebih dari 180 macam senyawa atau unsur dan zat nutrisi yang ada, terkandung di dalam madu alami. Dan jenis gula atau karbohidrat yang terdapat di dalam madu alami yakni fruktosa, yang memiliki kadar yang tertinggi, yaitu sedikitnya bias mencapai 38,5 gram per 100 gram madu alami. Sementara untuk kadar glukosa, maltosa, dan sukrosanya rendah. Fruktosa atau yang sering disebut Levulosa merupakan gula murni atau alami yang berasal dari saripati buah-buahan. Sedangkan sukrosa merupakan gula hasil olahan manusia yang bahan bakunya berasal dari batang pohon tebu. Oleh karena itu, sehingga dikenal sebagai sumber energi yang akan cepat pula tercena dan diserap serta bermanfaat sekali untuk memulihkan kelelahan setelah melakukan berbagai aktivitas berat lainnya. 
Madu tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral seperti Magnesium, Kalium, Potasium, Sodium, Klorin, Sulfur, Besi, dan Fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B6 dan B3 yang komposisinya berubah-ubah sesuai dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi lebah. Disamping itu, didalam madu terdapat pula tembaga, yodium dan seng dalam jumlah yang kecil, juga beberapa jenis hormon. (Sarwono, 2001). 

2.3.1 Jenis dan Kualitas Madu

Jenis madu ditentukan oleh jenis bunga yang menjadi sumber nektar, karena setiap bunga dapat menghasilkan warna, rasa, dan aroma madu yang berbeda. Sampai saat ini, terdapat lebih dari 300 varietas madu (Caron, 2004).
Madu umumnya diberi nama sesuai dengan sumber nektarnya, sehingga terdapat berbagai nama madu di pasaran seperti madu apel, madu kapuk, madu lengkeng, madu beringin, dan sebagainya (A. Suranto, 2004).
Berdasarkan asal cairan yang diambil oleh lebah, madu dibedakan atas tiga jenis yaitu madu nektar, honey dew dan madu buatan. Madu nektar berasal dari cairan nektar baik dari satu macam bunga (monoflora), beberapa macam bunga (polyflora) ataupun dari lain-lain bagian tanaman selain bunga (extraflora). Honey dew berasal dari cairan manis yang dikeluarkan oleh insekta pengisap tanaman yang dikumpulkan dan disimpan oleh lebah di dalam sarangnya. Sedangkan  madu buatan adalah madu yang berasal dari cairan gula yang dikumpulkan dan disimpan (A. Suranto, 2004).
Berdasarkan warnanya, madu dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu jernih (water white), amber, hitam (dark amber), putih (white) (National Honey Board, 2001). Madu amber telah diketahui mempunyai aktivitas bakteriostatik dan bakterisida,  baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif (Mulu, et al., 2004). Madu hitam mempunyai rasa pahit dan memiliki kandungan zat antioksidan yang lebih banyak dibandingkan kedua madu lainnya (Ismail, 2007) dan madu putih mempunyai rasa yang sangat manis, aroma yang khas, dan after taste yang kuat (Sukartiko, 1986). 

2.3.2 Komposisi

Komposisi kimia dari madu bervariasi tergantung dari sumber tanaman, musim dan metode produksi. Kondisi penyimpanan juga bisa mempengaruhi komposisi akhirnya dengan proporsi disakarida yang meningkat setiap waktu. Dua kandungan gula yang utama pada madu yaitu fruktosa (sekitar 38%) dan glukosa (sekitar 31%) sisanya berupa sukrosa (sekitar1%), disakarida, oligosakarida, asam glukonat serta asam-asam lain dengan sedikit protein, enzim (termasuk glukosa oksidase), asam-asam amino dan mineral (White, et al., 1960;White,1975).
Madu juga tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi dan fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B6 dan B3 yang komposisinya berubah-ubah sesuai dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi lebah.

2.3.3 Pemanfaatan Madu

Madu mempunyai berbagai manfaat, diantaranya dapat digunakan dalam pengobatan penyakit infeksi, karena mempunyai aktivitas antibakteri. Madu diketahui mempunyai aktivitas bakterisida dan bakteriostatik terhadap bakteri, baik terhadap Gram positif ataupun Gram negatif (Mulu, et al., 2004). Madu juga terbukti mempunyai aktivitas terhadap beberapa bakteri, diantaranya Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Streptococcus pyogenus, dan Salmonella  typhimurium (Wilix et al., 1992).
Aktivitas antibakteri tersebut berhubungan dengan karakteristik dan kandungan kimia madu. Reaksi yang dikatalis enzim glukosa oksidase merupakan faktor utama yang menentukan aktivitas antibakteri pada madu (Mulu, et al., 2004). 
Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri madu diantaranya (Molan, 1992):
1.    Tekanan osmotik /aktivitas air (Aw)
 Madu merupakan larutan gula sangat jenuh (supersaturated), dengan aktivitas air (Aw) yang rendah. Hal itu berarti madu mengandung sedikit air dan kurang mendukung pertumbuhan bakteri dan jamur. Beberapa spesies bakteri dapat tumbuh pada medium dengan Aw antara 0,94-0,99, sedangkan nilai Aw madu sekitar 0,56-0,62.
2.    pH madu
Nilai pH madu rata-rata sekitar 3,2 - 4,5, sehingga dapat menghambat pertumbuhan beberapa patogen yang mempunyai pH minimum pertumbuhan sekitar 7,2 - 7,4, seperti Escherichia coli,  Salmonella, Pseudomonas aeruginosa, dan  Streptococcus pyogenes.
3.    Enzim glukosa oksidase
 Glukosa oksidase merupakan enzim yang diekskresikan oleh lebah madu untuk menghasilkan madu dari nektar. Enzim ini merubah glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida. Oleh karena itu, aktivitas antibakteri madu sangat berhubungan dengan jumlah hidrogen peroksidase dan glukosa oksidase. Pada madu yang dilarutkan dalam air akan menyebabkan kenaikan aktivitas enzim 2,5-50 kali lipat, bersifat antiseptik, dan tidak membahayakan jaringan.
4.    Komponen antibakteri pada madu
Madu mengandung beberapa senyawa antibakteri dalam jumlah yang kecil, yaitu pinosembrin, terpen, benzil alkohol, 3,5-dimetoksi-4-asam hidroksi benzoat (asam siringat), metil-3,5-dimetoksi-4-hidroksibenzoat (metil siringat), 3,4,5 asam trimetoksi benzoat, 2-hidroksi-3-asam fenil propionat, 2-asam hidroksi benzoat, dan 1,4-dihiroksibenzen. Senyawa-senyawa tersebut adalah faktor pendukung aktivitas antibakteri non-peroksida.
Aktivitas antibakteri madu dapat berkurang karena beberapa faktor, diantaranya adanya ion logam, asam askorbat, dan katalase dari nektar yang dapat merusak hidrogen peroksida, serta adanya cahaya dan pemanasan yang dapat merusak enzim glukosa oksidase.

2.3.4  Zat Antibakteri

Antibakteri merupakan zat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Zat-zat ini dapat diperoleh secara alami, melalui semisintesis, dan melalui modifikasi molekul biosintetik, yang bekerja membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri (G.F. Brooks,et al., 2001;Madigan, et al., 2003). Aktivitas antibakteri ditentukan oleh interaksi zat tersebut dengan bakteri. Oleh karena itu, kualitas zat antibakteri dapat ditentukan berdasarkan afinitas obat dengan reseptor yang terdapat dalam sel bakteri (Hadinegoro, 1999).
Ø Penggolongan
Zat antibakteri dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, berdasarkan efek yang dihasilkan terhadap pertumbuhan bakteri (Madigan, et al., 2003) yaitu:
1.    Bakteriostatik
Bakteriostatik merupakan efek yang menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi tidak menyebabkan kematian seluruh bakteri. Mekanisme bakteriostatik biasanya terjadi pada ribosom yang menyebabkan penghambatan sintesis protein.
2.    Bakterisidal
Zat yang bersifat bakterisidal dapat membunuh bakteri, tetapi tidak menyebabkan lisis atau pecahnya sel bakteri.
Ø Mekanisme Kerja
Zat antibakteri dapat melakukan aktivitasnya melalui beberapa mekanisme (Tjay & Rahardja, 2002) yaitu: 
1.    Mengganggu sintesis dinding sel 
Sintesis dinding sel bakteri dapat diganggu zat antibakteri, sehingga dinding sel yang terbentuk menjadi kurang sempurna dan tidak tahan terhadap tekanan osmotis, sehingga menyebabkan pecahnya sel.
2.    Mengganggu sintesis membran sel
Sintesis molekul lipoprotein membran sel bakteri dapat diganggu zat antibakteri, sehingga membran menjadi lebih permeabel yang menyebabkan keluarnya zat-zat penting dari sel.
3.    Mengganggu sintesis protein sel
Zat antibakteri dapat berikatan dengan sub unit ribosom bakteri, sehingga menghambat sintesis asam-asam amino dan menghasilkan protein yang inaktif.
4.    Mengganggu sintesis asam nukleat
5.    Antagonisme saingan
Zat antibakteri dapat bersaing dengan zat-zat yang diperlukan untuk proses metabolisme,  sehingga proses tersebut terhenti. 

2.3.5  Pengujian Zat Antibakteri

Zat antibakteri adalah senyawa alami atau sintetik yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri (Madigan, et al., 2003). Aktivitas antibakteri ditentukan oleh interaksi zat tersebut dengan bakteri. Oleh karena itu, kualitas zat antibakteri dapat ditentukan berdasarkan aktivitas obat dengan reseptor yang terdapat dalam sel bakteri (Hadinegoro, 1999). Proses pengujian atau evaluasi zat antibakteri dapat melalui beberapa tahapan yaitu isolasi dan pemurnian, pemeriksaan efisiensi antibakteri, produksi skala kecil, uji toksisitas, produksi skala besar, dan uji klinis (S. Hogg, 2005).














BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.       Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan selama satu bulan di Laboratorium Bio-Science dan Laboratorium Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana Kupang.
3.2.       Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam Penelitian ini adalah: spoit/suntik, timbangan digital, alumunium foil, haemocytometer, mikroskop, pH meter, rotary evaporasi, aerasi dan akuarium. Berdasarkan kegunaannya dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Alat dan Kegunaan
No.
Alat
Kegunaan
1.
Spoit/Suntik
Alat untuk menyuntikkan madu ke dalam tubuh ikan.
2.
Timbangan digital
Menimbang bahan.
3.
Alumunium foil
Untuk membungkus alat-alat.
4.
Haemocytometer
Untuk menghitung sel darah.
5.
Mikroskop
Alat untuk mengamati dan menghitung sample.
6.
Aerasi
Memasok O2 pada setiap aquarium.
7.
Akuarium
Sebagai wadah dalam pemeliharaan ikan uji.
8.
pH meter
Mengukur derajat keasaman air.
9.
DO meter
Mengukur oksigen terlarut.
10.
Termometer
Mengukur suhu air.

3.2.2    Bahan
Bahan yang digunakan yaitu ikan nila, isolat bakteri Aeromonas hydrophila, madu timor, larutan turk, larutan hayem, kaporit, HCL 0,1 N, aquades, detergen  dan pellet.
Bahan yang digunakan diatas memiliki kegunaan seperti yang tercantum pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Bahan dan Kegunaan
No.
Bahan
Kegunaan
1.
Ikan Nila
Sebagai biota uji yang diperoleh dari BBIS Noekele. Ukuran 10-15 cm sebanyak 50 ekor.
2.
Isolat bakteri Aeromonas hydrophila
Untuk menginfeksi biota uji
3.
Madu timor
Sebagai bahan perlakuan dalam penelitian
4.
Larutan turk
Sebagai pengencer darah pada saat penghitungan sel darah putih.
5.
Larutan hayem
Sebagai pengencer darah dalam menghitung sel darah merah.
6.
Kaporit
Untuk membunuh bakteri, virus dan kuman.
7.
HCL 0,1 N
Sebagai larutan pengencer untuk menghitung kadar hemoglobin.
8.
Aquades
Pelarut media agar, dll.
9.
Detergent
Untuk membersihkan alat penelitian.
10.
Pellet
Sebagai pakan ikan.

3.3.       Prosedur Penelitian
3.3.1   Persiapan Wadah.
Wadah pemeliharaan yang digunakan berupa akuarium dengan ukuran 70 x 60 x 45 cm3 sebanyak 9 buah akuarium. Wadah pemeliharaan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian seperti selang aerasi dan batu aerasi juga dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan dengan menggunakan detergen dan direndam dalam larutan kaporit agar bebas dari mikroorganisme penyebab penyakit. Selanjutnya wadah pemeliharaan dinetralkan dengan natrium thiosulfate. Setelah itu, wadah diisi dengan air yang bersih sebanyak 10 liter.
3.3.2   Persiapan Ikan Uji dan Bakteri Aeromonas hydrophila.
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila. Ikan nila ini diperoleh dari BBIS Noekele, kecamatan kupang timur, kabupaten kupang. Ukuran ikan uji untuk penelitian yaitu ukuran 10-13 cm. Jumlah ikan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 45 ekor, dimana setiap aquarium berisi 5 ekor ikan uji. Sedangkan bakteri A. hydrophilla diperoleh dari hasil kultur di laboratorium.
3.3.3   Pemeliharaan Ikan Uji
Ikan nila yang didatangkan dari BBIS Noekele diaklimatisasikan terlebih dahulu selama 5 hari dalam wadah yang berukuran besar. Selama masa aklimatisasi, air harus selalu dikontrol agar ikan tidak stress dan ikan uji harus diberi pakan setiap hari secara adlibitum agar ikan tidak lapar dan tidak terserang penyakit. Dalam pemeliharaan ikan nila perlu diperhatikan aerasi agar ikan tidak kekurangan oksigen di dalam aquakurium.
3.3.4   Persiapan Madu Timor
 Madu yang digunakan dalam penelitian ini adalah madu yang benar-benar asli dari pulau timor yang belum tercampur dengan bahan lainnya. Madu timor yang dipakai untuk penelitian sebaiknya madu yang masih segar dan baru didatangkan dari penjual, karena madu yang masih baru memiliki zat antibakteri yang tinggi.
3.3.5   Uji Pencegahan dan Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila
Ikan uji yang telah diadaptasikan dipindahkan ke tiap wadah percobaan sesuai dengan masing-masing perlakuan. Ikan yang akan dipakai sebagai bahan penelitian terlebih dahulu disuntik madu timor dengan menggunakkan spoit/suntik. Cara menyuntikkan madu timor ke dalam tubuh ikan yaitu melalui mulut (oral). Ikan uji diberi madu timor berdasarkan konsentrasi setiap perlakuan.
Setelah semua ikan diberi madu timor, ikan tersebut terlebih dahulu dipelihara dalam aquarium selama 3 hari agar madu timor dapat bereaksi dalam tubuh ikan sebelum diinfeksi bakteri A. hydrophilla. Setelah ikan uji dipelihara selama 3 hari maka dilakukan penyuntikkan bakteri A. hydrophilla pada tubuh ikan dengan kepadatan 106 sel/ml.
3.3.6 Pemeliharaan dan Pengamatan
Ikan yang sudah disuntik dengan madu timor dan telah diinfeksi dengan bakteri A. hydrophilla dipelihara dalam wadah aquarium dalam kondisi kualitas air yang baik dan pakan yang cukup. Sedangkan pemeriksaan hematologi dilakukan pada ikan sehat, setelah pemberian madu timor dan sesudah diinfeksi bakteri A. hydrophilla
Pengamatan dilakukan pada gejala klinis dan tingkah laku ikan, yaitu
a. Gerakan refleks
Pengamatan gerakan refleks pada ikan dilakukan sebelum ikan terinfeksi bakteri A. hydrophilla dan sesudah ikan uji disuntik dengan madu. Pengamatan gerakan refleks pada ikan uji ini dilakukan dengan melihat reaksi ikan saat permukaan air pada akuarium (wadah) ditepuk.
b. Nafsu makan
Pengamatan nafsu makan ikan uji dilakukan dari awal hingga akhir penelitian, yaitu: pada ikan sehat, setelah pemberian madu timor (pencegahan) dan sesudah diinfeksi bakteri A. hydrophilla.
c. Luka fisik akibat aktivitas bakteri A. Hydrophilla.

Sebagai data penunjang atau tambahan  maka dilakukan pengukuran kualitas air yang meliputi suhu, pH dan oksigen terlarut yang dilakukan pada awal dan akhir penelitian.
3.4         Parameter yang Diuji
3.4.1   Hematologi Ikan Nila
Darah ikan diambil pada bagian depan sirip ekor dengan menggunakan injeksi yang terlebih dahulu diisi dengan Na-citrat. Darah yang telah diambil selanjutnya dilakukan pengamatan hematologinya yang meliputi eritrosit, leukosit dan kadar hemoglobin.
a)    Perhitungan sel darah merah (eritrosit)
Pertama darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah sampai skala 1 (pipet untuk mengukur jumlah sel darah merah). Lalu ditambahkan larutan hayem sampai skala 101, pipet kemudian diayun membentuk angka 8 selama 3-5 menit hingga darah tercampur rata. Larutan hayem ini berfungsi untuk mematikan sel-sel darah putih. Setelah itu dibuang dua tetes pertama larutan darah dalam pipet selanjutnya diteteskan pada haemocytometer dan tutup dengan glass penutup. Kemudian hitung jumlah sel darah merah dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Jumlah eritrosit dihitung sebanyak 10 kotak kecil dan konversikan menurut jumlah total kotak kecil hingga mendapatkan sel darah merah per ml. Rumus untuk menghitung eritrosit (Nabib dan Pasaribu, 1989 dalam Thomas, 2013) adalah sebagai berikut:


Rounded Rectangle: Jumlah eritrosit (sel/mm3) = (a/n) x (1/v) x Fp
 


dimana:
a    :   Jumlah sel darah merah
n    :   Jumlah kotak hemocytometer
v    :   Volume hemocytometer
Fp  :   Faktor pengenceran

b)   Perhitungan sel darah putih (leukosit)
Pertama darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna putih sampai skala 0,5. Lalu ditambahkan larutan truk’s sampai skala 11, pipet kemudian diayun membentuk angka 8 selama 3-5 menit hingga darah tercampur rata. Larutan truk’s bersifat asam yang akan mengakibatkan lisisnya sel darah merah sehingga yang tertinggal hanya sel darah putih. Setelah itu dibuang dua tetes pertama larutan darah dalam pipet selanjutnya diteteskan pada haemocytometer dan tutup dengan cover glass . Cairan akan memenuhi ruang hitung secara kapiler. Kemudian hitung jumlah sel darah putih atau leukosit total dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Jumlah sel yang terdapat pada 5 kotak besar, lalu konversikan angka tersebut menurut jumlah total kotak besar sehingga didapatkan jumlah sel darah putih per ml . Rumus untuk menghitung leukosit (Nabib dan Pasaribu, 1989 dalam Thomas, 2013) adalah sebagai berikut:
Rounded Rectangle: Jumlah leukosit (sel/mm3) = (a/n) x (1/v) x Fp 
dimana:
a    :   Jumlah sel darah putih
n    :   Jumlah kotak hemocytometer
v    :   Volume hemocytometer
Fp  :   Faktor pengenceran

c)    Perhitungan Hemoglobin
Prosedur perhitungan hemoglobin dengan metode sahli (Wedemeyer dan Yasutake, 1977 dalam Thomas, 2013) adalah:
a.    Darah ikan disiapkan sebanyak 20 mm3 yang telah diberi Natrium Citrate 3,8% dalam pipet sahli.
b.    Tambahkan larutan HCL 0,1 N sampai tepat pada angka 2g% pada tabung sahli kemudian dicampur dengan aquades hingga menunjukkan warna yang sama dengan warna larutan sahli dan beberapa g% ketika warna telah sama, hasil tersebut merupakan kadar hemoglobin pada ikan.
Rumus menghitung konsentrasi hemoglobin pada darah (Wedemeyer dan Yasutake, 1977 dalam Thomas, 2013):
Jika standar warna dinyatakan 100% mengandung 14,8g/100ml, dan pembaca terlihat Y, maka:


Rounded Rectangle: Konsentrasi Hb (g/100% ml darah) = (14.8 x Y)/100
 


dimana;
14,8        : Standar warna pada tabung sahli
Y            : Pembaca pada tabung sahli
100                  : Konsentrsi hemoglobin dalam 1 ml darah

3.4.2 Sintasan Ikan Nila
Pengukuran sintasan ikan nila menggunakan rumus yang  dikemukakan dalam Effendi, (1997) sebagai berikut :


Rounded Rectangle: S =  Nt/N0 x 100%
 


dimana :
S = Sintasan (%)
Nt = jumlah ikan pada akhir penelitian (individu)
N0 = jumlah ikan pada awal penelitian (individu)
3.4.3   Pemeriksaan Kualitas Air
Pemeriksaan kualitas air dilakukan sebagai berikut:
a.    Suhu diukur dengan menggunakan thermometer
b.    pH air diukur dengan menggunakan pH meter
c.    Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan DO meter
3.5         Rancangan Percobaan
Penelitian ini akan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) berdasarkan Gasperz (1991) dengan 3 ulangan dan 3 perlakuan , dimana :
1.    Perlakuan A : Penyuntikan madu timor dengan konsentrasi sebanyak 75%.
2.    Perlakuan B : Penyuntikan madu timor dengan konsentrasi sebanyak 50%.
3.    Perlakuan C : Penyuntikan madu timor dengan konsentrasi sebanyak 25% .
3.6         Hipotesis Statistik
H0 :Tidak ada pengaruh pemberian madu timor terhadap bakteri A. hydrophilla.
H1 : Ada pengaruh pemberian madu timor terhadap bakteri A. hydrophilla.
3.7         Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh madu timor dalam mencegah penyakit Aeromonas hydrophyla pada ikan nila maka dilakukan analisa dengan menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) apabila memberikan pengaruh nyata terhadap hematologi dan sintasan ikan nila, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

Lirik Lagu Ko Suka Bikin Ganas Tapi Sa Sayang

Sa kecewa Sayang Sa bicara ulang Tapi ko tra mo dengar Sa ni yang selalu sabar Untuk koi Sayang Sa selalu larang Jangan pernah mo ilang kaba...